Lukman
Pada bulan September tahun 1932, pemerintah mengumumkan suatu Wilde Scholen Ordonnantie (Peraturan Sekolah-sekolah Liar). Wilde Scholen Ordonnantie (Peraturan Sekolah-sekolah Liar) mengharuskan adanya izin dari pihak penguasa sebelum sebuah sekolah swasta yang tidak mendapat subsidi pemerintah (yang menempatkan suatu sekolah di bawah pengawasan pemerintah) dapat didirikan. Timbullah protes yang bersifat nasional atas campur tangan terhadap sekolah-sekolah swasta ini. Salah satu pengunjuk rasa adalah seorang anak laki-laki berusia 16 tahun bernama Lukman. Ia pun harus mengikuti ayahnya dibuang ke Digul.
MH Lukman adalah orang kedua (setelah Aidit) dalam kepemimpinan PKI, lahir di Tegal 1920, Wakil Ketua DPR-GR tapi hidup miskin. Istrinya sempat menjual celana milik Lukman untuk bisa membeli daging ayam. Tantiana putrinya bersaksi seumur-umur baru sekali makan di restoran. Itupun hanya membeli 3 porsi bakso untuk berlima tanpa tambahan untuk memesan minuman. MH di depan nama Lukman adalah kependekan dari Mohammad Hatta, nama pemberian ayahnya yang mengagumi Hatta. Ayah Lukman, Haji Muchlas, adalah seorang aktivis Syarekat Rakyat yang dibuang ke Boven Digul setelah pemberontakan yang gagal tahun 1926. Di Digul inilah Muchlas bertemu Hatta. Belakangan Lukman membuang nama MH karena benci kepada Hatta dan mengganti namanya menjadi Lukmanulhakim. Lukman sudah menjadi Digulis & aktivis sejak belia. Pada usia 16 tahun sudah dipenjara Belanda karena ikut unjuk rasa menentang Ordonansi Sekolah Liar. Saat ayahnya & interniran dilarikan Belanda ke Australia, Lukman sudah kabur terlebih dulu. Pada Peristiwa Madiun pun ia lolos bersama Aidit Nyoto & Sudisman, tapi pasca Gestok dia tertangkap. Ia tak bisa lolos dari kekuasaan Suharto & dihukum mati sebelum sempat diadili. Ia memang sudah terlibat dalam Gestok sejak penentuan Hari-H. Setelah itu ia ke Jawa Tengah untuk memantau perkembangan dari sana. Nyoto terbang ke Sumatra Utara bersama Subandrio. Aidit sebagai tokoh sentral tetap di Jakarta memimpin gerakan. Saat Gestok dianggap kontra revolusi oleh Suharto, Aidit terbang ke Solo sementara Lukman & Nyoto kembali ke Jakarta dan membuat pernyataan "PKI tidak terlibat dalam G30S". Mereka hadir pada rapat kabinet 6 Oktober di istana Bogor (Bung Karno sudah dikenai tahanan rumah). Saat itu Presiden menyatakan bahwa para jendral yang menjadi korban Gestok adalah para Pahlawan Revolusi dan menyebut pembunuhan mereka sebagai tindakan biadab. Presiden juga menolak memecat Omar Dhani & membubarkan PKI seperti permintaan Suharto. Presiden bahkan berjanji pada Lukman & Nyoto akan melindungi PKI. Presiden pun membuat pernyataan bahwa "jasa PKI dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia lebih besar dari partai maupun golongan politik lainnya". Pernyataan itu cukup bagi Suharto & Nasution untuk semakin menekan Presiden dan para perwira tinggi pendukung Sukarno.
MH Lukman adalah orang kedua (setelah Aidit) dalam kepemimpinan PKI, lahir di Tegal 1920, Wakil Ketua DPR-GR tapi hidup miskin. Istrinya sempat menjual celana milik Lukman untuk bisa membeli daging ayam. Tantiana putrinya bersaksi seumur-umur baru sekali makan di restoran. Itupun hanya membeli 3 porsi bakso untuk berlima tanpa tambahan untuk memesan minuman. MH di depan nama Lukman adalah kependekan dari Mohammad Hatta, nama pemberian ayahnya yang mengagumi Hatta. Ayah Lukman, Haji Muchlas, adalah seorang aktivis Syarekat Rakyat yang dibuang ke Boven Digul setelah pemberontakan yang gagal tahun 1926. Di Digul inilah Muchlas bertemu Hatta. Belakangan Lukman membuang nama MH karena benci kepada Hatta dan mengganti namanya menjadi Lukmanulhakim. Lukman sudah menjadi Digulis & aktivis sejak belia. Pada usia 16 tahun sudah dipenjara Belanda karena ikut unjuk rasa menentang Ordonansi Sekolah Liar. Saat ayahnya & interniran dilarikan Belanda ke Australia, Lukman sudah kabur terlebih dulu. Pada Peristiwa Madiun pun ia lolos bersama Aidit Nyoto & Sudisman, tapi pasca Gestok dia tertangkap. Ia tak bisa lolos dari kekuasaan Suharto & dihukum mati sebelum sempat diadili. Ia memang sudah terlibat dalam Gestok sejak penentuan Hari-H. Setelah itu ia ke Jawa Tengah untuk memantau perkembangan dari sana. Nyoto terbang ke Sumatra Utara bersama Subandrio. Aidit sebagai tokoh sentral tetap di Jakarta memimpin gerakan. Saat Gestok dianggap kontra revolusi oleh Suharto, Aidit terbang ke Solo sementara Lukman & Nyoto kembali ke Jakarta dan membuat pernyataan "PKI tidak terlibat dalam G30S". Mereka hadir pada rapat kabinet 6 Oktober di istana Bogor (Bung Karno sudah dikenai tahanan rumah). Saat itu Presiden menyatakan bahwa para jendral yang menjadi korban Gestok adalah para Pahlawan Revolusi dan menyebut pembunuhan mereka sebagai tindakan biadab. Presiden juga menolak memecat Omar Dhani & membubarkan PKI seperti permintaan Suharto. Presiden bahkan berjanji pada Lukman & Nyoto akan melindungi PKI. Presiden pun membuat pernyataan bahwa "jasa PKI dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia lebih besar dari partai maupun golongan politik lainnya". Pernyataan itu cukup bagi Suharto & Nasution untuk semakin menekan Presiden dan para perwira tinggi pendukung Sukarno.
Komentar
Posting Komentar