Mohammad Natsir (Datuk Sinaro Panjang)

Reaksi pimpinan Islam terhadap perkembangan nasionalisme sekuler pada umumnya bersifat memusuhi. Orang Minangkabau bernama Mohammad Natsir, tampil pada kurun ini sebagai seorang ahli polemik Islam yang terkemuka.
Natsir lahir di ranah Minang tahun 1908. Setelah menamatkan pendidilan di AMS pada tahun 1930, Natsir giat di bidang pendidikan/perguruan, sambil membantu berbagai majalah serta surat kabar. Ia menggunakan nama pena A. Muchlis pada banyak tulisannya yang ia kirim ke Panji Islam dan Pedoman Masjarakat, dua mingguan Islam terkemuka di Medan pada masa sebelum perang.
Sebagai pemuda, Natsir terjun dalam gerakan massa, antara lain bergabung dalam Jong Isamieten Bond dan Persatuan Islam. Ia juga giat dalam Partai Islam Indonesia yang didirikan Dr Soekiman Wirjosandjojo dan Wiwoho Purnohadidjojo. Ia pun duduk sebagai anggota MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia), yang dalam masa pendudukan Jepang menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Sejak tahun 1949 Natsir selalu terpilih sebagai ketua umum satu-satunya partai politik Islam kala itu. Baru pada tahun 1959, ia digantikan Prawoto Mangkusasmito.
Di pemerintahan Natsir sempat menjadi Menteri Penerangan dalam Kabinet Sjahrir (I, II, & III) serta dalam Kabinet Hatta I. Ia pun sempat menjadi Perdana Menteri pada Kabinet Natsir, kabinet pertama NKRI setelah RIS dibubarkan, yang berkuasa selama delapan bulan, yaitu dari 6 September 1950 sampai dengan 27 April 1951. Melalui Pemilu 1955/1956 ia terpilih sebagai anggota DPR.
Natsir melibatkan diri dalam PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Ia bersama sejumlah tokoh Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dijebloskan dalam penjara. Setelah keluar, Natsir mencoba membangun kembali Masyumi namun tidak diberi izin. Ia pun mengalihkan kegiatannya ke bidang dakwah, dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) bersama M. Yunan Nasution dll.
Natsir juga terpilih sebagai wakil presiden Muktamar Alam Islamy yang bermarkas di Karachi. Ia juga anggota kehormatan Majlis Ta'sisi Rabithah Alam Islami yang berpusat di Mekah. Pada tahun 1980 ia mendapat Penghargaan Internasional Feisal.
Buku karangannya : Komt tot het Gebed, Gouden Regels uit de Qur'an, De Islamitische Vrouw en haar Rechten, Islam Sumber Bahagia dan Capita Selecta (Sudibjo, Soebagijo I.N., 2004:48-49).
Buku Komt Tot Het Gebed diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Marilah Salat. Buku yang sampulnya bergambar Masjid Al Azhar itulah yang dibeli ayah pada tahun 1970-an dan dari buku itulah saya belajar dan memahami makna salat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan