PNI-Baru di Bawah Hatta
Setelah Hatta memegang kekuasaan dalam PNI Baru sejak 24 Agustus 1932, organisasi itu segera meluaskan kegiatannya. Pada bulan Juni 1932 organisasi itu mempunyai cabang 12 cabang dan pada tahun 1933 memiliki 66 cabang. Partai ini paling kuat di Jawa Barat, dan semakin menurun (baik cabang dan anggotanya) ke arah timur meski memiliki cabang yang kuat di Surabaya. Jumlah anggotanya tidak diketahui dengan pasti. Hanya ada catatan dari Dinas Intelejen Politik Pemerintah, jumlah mereka yang hadir dalam rapat atau diskusi berkisar antara 20-100 orang. Hanya di Jawa Timur jumlah itu mencapai 2.000 orang anggota.
Kursus kursus kader didasarkan pada pamflet yang ditulis Hatta pada akhir tahun 1932 yang berjudul Kearah Indonesia Merdeka, yang berisi dasar, taktik dan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan. Di pamflet itu ia menjelaskan adanya tiga macam bangsa : bangsa yang diperintah ningrat, bangsa yang diperintah cendikiawan dan bangsa yang diperintah oleh rakyat. Hatta mengkritik ningrat dan cendikiawan dan menghendaki suatu kebangsaan rakyat dan kedaulatan rakyat. Ia juga membuat kontras yang tajam antara individualisme Barat dengan kolektivisme masyarakat pedesaan Indonesia pra kolonial.
PNI Baru memiliki banyak anggota di Cirebon dan Indramayu. Banyak anggota PNI-Baru menjadi kepala desa. Mereka memanfaatkan kejengkelan rakyat terhadap monopoli garam dan larangan mengambil kayu jati di hutan. PNI Baru menjanjikan kekebalan penangkapan bagi para anggota yang menolak monopoli garam dan yang mengambil kayu di hutan.
Residen van der Plas mengendalikan keadaan itu dengan memperkuat kaum bangsawan dan lurah serta menggalang organisasi Islam konservatif, nasionalis dan yang anti sekuler. Taktik ini dikombinasikan dengan operasi militer.
Peristiwa lain terjadi pada PNI Baru cabang Pedan, Klaten. Di bawah pimpinan Mangundimedjo, para anggota diajak untuk tidak ikut kerja paksa dan tidak membayar pajak. Tak pelak lagi ratusan petani pun ditangkap ( Sudiyono, Koch, Dekker, Slametmuljana, Basri, Ingleson, Deodikbud, 2003: 370).
Komentar
Posting Komentar