Bulan Sabit dan Salib di Nusantara.
Anthony Reid dari Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University, Canberra, membuat sebuah tulisan menarik mengenai relasi penuh persaingan antara Islam dan Kristen di Indonesia pada abad ke-16 berjudul "Bulan Sabit dan Salib dalam Pertikaian Dunia."
Reid mengungkap mengapa ada gerakan anti Portugis di Nusantara. Portugis dan Spanyol menempa nasionalisme melalui perang salib melawan Moros (Maroko Islam) yang membangun masyarakat Islam di Andalusia. Penemuan jalur laut ke Asia Tenggara tidak lepas dari kelanjutan perang salib yang panjang. Dengan berdagang rempah ke Eropa dan lepas dari tangan orang Islam, mereka berharap melayani Tuhan dan diri mereka sendiri. Mereka juga sempat memukul garis belakang Turki Ottoman yang mengancam Katolik Eropa. Serangan Portugis terhadap kapal dan bandar Islam di Selat Melaka dan sekitarnya menumbuhkan persekutuan antar kesultanan di kawasan yang bersatu melawan ancaman orang Kristen. Tumbuhnya anti Portugis dari Aceh dan Banten di tahun 1520 merupakan tanggapan langsung terhadap usaha Portugis untuk menguasai bandar-bandar kecil dan lemah. Di Maluku orang-orang Portugis disambut hangat sebagai sekutu dalam pertikaian antar persekutuan desa yang berakhir pada polarisasi : bila memihak Portugis akan menjadi Katolik dan sebaliknya bila mendukung Melayu dan Jawa beralih menganut Islam. Tercatat dalam Hikayat Tanah Hitu, "Kami berkelahi dengan mereka. Kami menyerang satu sama lain, seolah-olah perang ini tiada akan berakhir."
Pada tahun 1530 muncullah jalur baru lada dan cengkih. Para pedagang Muslim menghindari kekuatan Portugis di Melaka dan Cochin (pantai barat India). Mereka mengambil rempah di Banten kemudian menyusuri pantai barat Sumatra ke Aceh. Dari sana kapal Gujarat, Arab dan Aceh menyebrang ke Samudra Hindia ke Laut Merah. Pada tahun 1560 lebih banyak kapal Aceh membawa lada ke Mesir dan Arab daripada kapal Portugis ke Eropa. Turki bahkan mengirim beberapa misi militer untuk membantu perang Aceh melawan Melaka yang diduduki Portugis.
Sebuah lukisan berjudul Pengepungan Melaka Portugis oleh Aceh (1629) koleksi British Library menggambarkan artileri Aceh mengepung benteng Portugis. Ada keterangan bahwa Sultan Iskandar Muda mengutus armada terbaiknya yang pernah ada di Asia, dilengkapi meriam kecil dan besar, terdiri atas 20.000 tentara dan 236 kapal.
Lebih lanjut Reid menulis bahwa pertikaian antara kekuatan Islam yang dipimpin Turki dan kekuatan Katolik yang dipimpin Hapsburg Spanyol memuncak pada akhir ke-16 baik di Asia Tenggara maupun Laut Tengah. Dengan bantuan beberapa kelompok Islam , Aceh sering mengepung Melaka Portugis. Semangat perang salib kedua belah pihak mengubah raja-raja Asia Tenggara (yang beragama Islam dan menjadi sultan) sebagai tes kesetiaan. Ke dalam, mereka mencari dan memastikan ketaatan keislaman, karena orang bukan Islam dianggap sekutu utama Portugis. Garis tajam antara Islam dan musuhnya mulai nampak. Kekejian Portugis saat membunuh bekas sekutunya, Sultan Hairun dari Ternate, pada tahun 1570, mengobarkan persatuan Islam untuk membalas kekejian tersebut di bawah pimpinan Baabullah, anak Sultan Hairun. Di Makassar Islam dianut secara resmi tahun 1603.
Peningkatan kekuatan angkatan laut Belanda setelah tahun 1600 mengakhiri pertentangan Islam-Kristen. Orang Eropa lebih sering bertempur antarmereka sendiri daripada dengan orang-orang Islam. Jalur laut Islam antara Aceh dan Arabia berakhir tahun 1620-an dan Turki tinggal kenangan. Kesetiakawanan pan-Islam tidak penting lagi sampai abad ke-19. Meski begitu masa singkat persaingan Islam-Kristen tetap memicu beberapa kerajaan utama Nusantara pada puncak kesadaran dan kesetiaan terhadap Islam.
Sejumlah sultan dan pangeran menjalankan ibadah haji ke Mekah, belajar agama Islam pada sejumlan ulama di istana mereka, menyelenggaraka n hari besar Islam seperti Idul Adha secara meriah dan megah. Di Aceh (paruh abad ke-17) dan Banten (di bawah Sultan Ageng) berlangsung pengadilan Islam berdasar hukum syariah untuk pencurian dan perzinahan.
Contoh pemimpin yang sangat taat terhadap Islam menurut Reid adalah Sultan Iskandar Thani dari Aceh (1638-1641). Dengan penasihat Nuruddin ar-Raniri, cendikia Gujarat, sultan menegakkan syariat secara penuh. Ia melarang pedagang Cina ke Aceh, menghukum pancung beberapa orang Portugis yang menolak Islam, menghukum mati setiap orang murtad dan pendukung faham mistik Hamzah Fansuri dan Syamsuddin -yang dianggap ar-Raniri sebagai penyembahan berhala.
Reid mengungkap mengapa ada gerakan anti Portugis di Nusantara. Portugis dan Spanyol menempa nasionalisme melalui perang salib melawan Moros (Maroko Islam) yang membangun masyarakat Islam di Andalusia. Penemuan jalur laut ke Asia Tenggara tidak lepas dari kelanjutan perang salib yang panjang. Dengan berdagang rempah ke Eropa dan lepas dari tangan orang Islam, mereka berharap melayani Tuhan dan diri mereka sendiri. Mereka juga sempat memukul garis belakang Turki Ottoman yang mengancam Katolik Eropa. Serangan Portugis terhadap kapal dan bandar Islam di Selat Melaka dan sekitarnya menumbuhkan persekutuan antar kesultanan di kawasan yang bersatu melawan ancaman orang Kristen. Tumbuhnya anti Portugis dari Aceh dan Banten di tahun 1520 merupakan tanggapan langsung terhadap usaha Portugis untuk menguasai bandar-bandar kecil dan lemah. Di Maluku orang-orang Portugis disambut hangat sebagai sekutu dalam pertikaian antar persekutuan desa yang berakhir pada polarisasi : bila memihak Portugis akan menjadi Katolik dan sebaliknya bila mendukung Melayu dan Jawa beralih menganut Islam. Tercatat dalam Hikayat Tanah Hitu, "Kami berkelahi dengan mereka. Kami menyerang satu sama lain, seolah-olah perang ini tiada akan berakhir."
Pada tahun 1530 muncullah jalur baru lada dan cengkih. Para pedagang Muslim menghindari kekuatan Portugis di Melaka dan Cochin (pantai barat India). Mereka mengambil rempah di Banten kemudian menyusuri pantai barat Sumatra ke Aceh. Dari sana kapal Gujarat, Arab dan Aceh menyebrang ke Samudra Hindia ke Laut Merah. Pada tahun 1560 lebih banyak kapal Aceh membawa lada ke Mesir dan Arab daripada kapal Portugis ke Eropa. Turki bahkan mengirim beberapa misi militer untuk membantu perang Aceh melawan Melaka yang diduduki Portugis.
Sebuah lukisan berjudul Pengepungan Melaka Portugis oleh Aceh (1629) koleksi British Library menggambarkan artileri Aceh mengepung benteng Portugis. Ada keterangan bahwa Sultan Iskandar Muda mengutus armada terbaiknya yang pernah ada di Asia, dilengkapi meriam kecil dan besar, terdiri atas 20.000 tentara dan 236 kapal.
Lebih lanjut Reid menulis bahwa pertikaian antara kekuatan Islam yang dipimpin Turki dan kekuatan Katolik yang dipimpin Hapsburg Spanyol memuncak pada akhir ke-16 baik di Asia Tenggara maupun Laut Tengah. Dengan bantuan beberapa kelompok Islam , Aceh sering mengepung Melaka Portugis. Semangat perang salib kedua belah pihak mengubah raja-raja Asia Tenggara (yang beragama Islam dan menjadi sultan) sebagai tes kesetiaan. Ke dalam, mereka mencari dan memastikan ketaatan keislaman, karena orang bukan Islam dianggap sekutu utama Portugis. Garis tajam antara Islam dan musuhnya mulai nampak. Kekejian Portugis saat membunuh bekas sekutunya, Sultan Hairun dari Ternate, pada tahun 1570, mengobarkan persatuan Islam untuk membalas kekejian tersebut di bawah pimpinan Baabullah, anak Sultan Hairun. Di Makassar Islam dianut secara resmi tahun 1603.
Peningkatan kekuatan angkatan laut Belanda setelah tahun 1600 mengakhiri pertentangan Islam-Kristen. Orang Eropa lebih sering bertempur antarmereka sendiri daripada dengan orang-orang Islam. Jalur laut Islam antara Aceh dan Arabia berakhir tahun 1620-an dan Turki tinggal kenangan. Kesetiakawanan pan-Islam tidak penting lagi sampai abad ke-19. Meski begitu masa singkat persaingan Islam-Kristen tetap memicu beberapa kerajaan utama Nusantara pada puncak kesadaran dan kesetiaan terhadap Islam.
Sejumlah sultan dan pangeran menjalankan ibadah haji ke Mekah, belajar agama Islam pada sejumlan ulama di istana mereka, menyelenggaraka
Contoh pemimpin yang sangat taat terhadap Islam menurut Reid adalah Sultan Iskandar Thani dari Aceh (1638-1641). Dengan penasihat Nuruddin ar-Raniri, cendikia Gujarat, sultan menegakkan syariat secara penuh. Ia melarang pedagang Cina ke Aceh, menghukum pancung beberapa orang Portugis yang menolak Islam, menghukum mati setiap orang murtad dan pendukung faham mistik Hamzah Fansuri dan Syamsuddin -yang dianggap ar-Raniri sebagai penyembahan berhala.
Komentar
Posting Komentar