Raja Ali Haji Dari Pulau Penyengat
Di manakah Penyengat ?
Pulau Penyengat terletak sekitar satu mil laut dari kota Tanjung Pinang di Pulau Bintan. Untuk tiba di sana diperlukan beberapa jam perjalanan melalui laut dari Batam atau Singapura menuju kota Tanjung Pinang di Pulau Bintan terlebih dahulu sebelum menyebrang dengan perahu motor kecil ke dermaga di pelabuhan Penyengat.
Menurut cerita, dulu banyak pelaut singgah ke pulau ini untuk mengambil air bersih. Saat itulah mereka diserbu sekawanan lebah dan merekapun disengat oleh lebah-lebah tersebut. Dari sinilah asal muasal nama Pulau Penyengat.
Jejak kebesaran kerajaan Riau-Lingga masih terasa di Penyengat sebagaimana terekam pada bangunan-bangun
Tiba di Penyengat kita bisa berkeliling pulau yang tidak terlalu besar dengan becak bermotor. Tidak ada kendaraan roda empat di sana, setidaknya sampai tahun 2007 ketika terakhir saya berkunjung ke sana.
---
Setelah abad ke-19 Riau-Lingga merupakan sisa-sisa kerajaan termasyhur Melayu-Melaka. Sultan Melayu Malaka harus berbagi kekuasaan dengan prajurit Bugis yang memasuki kerajaan melalui perkawinan. Kemudian kerajaan Sultan Melayu terpusat di Lingga dan pusat kekuasaan Bugis di Pulau Penyengat.
Riau-Lingga dikembangkan menjadi pusat perhatian pada Islam, ukhuwah Islamiyah dan peneguhan ajaran mahaguru khususnya Al Ghazali ahli theologia Persia abad ke-12. Ulama Timur Tengah yang berkunjung ke Singapura diundang untuk memberi nasihat dan mengajar ke Penyengat. Penyengat juga mengumpulkan buku naskah dan menggubah teks mereka sendiri.
Raja Ali Haji selain seorang raja dikenal sebagai pujangga Penyengat terbaik sezaman dengan pujangga Melayu Abdullah bin Abdulkadir al-Munsyi. Ia memerintah pada tahun 1844-1857. Bersama ayahnya Raja Haji Ahmad ia menulis kompilasi Tuhfat al Nafis yang merupakan paparan luas sejarah Melayu dan Bugis yang saling mempengaruhi selama dua abad. Kompilasi ini menyebut nama sebagai sumber baik tertulis maupun lisan dan memperhatikan susunan bahan secara urut dan sistematis sehingga mewakili keragaman pujangga Penyengat. Tuhfat al-Nafis dikatalogkan sebagai Sejarah Raja-Raja Melayu dan Bugis kini disimpan di Perpustakaan Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia. Manuskrip berhuruf Arab ini merupakan contoh terbaik pembuktian perpaduan pengaruh kuat antara Islam, Melayu, Bugis dan Barat di Penyengat.
Raja Ali Haji tidak hanya menulis tentang sejarah tapi juga pedoman kegiatan administrasi kerajaan, puisi penuntun moral berjudul Gurindam Duabelas (1847), tata bahasa Melayu untuk pengajaran anak-anak (1851) dan Kitab Pengetahuan Melayu yang merupakan ensiklopedi bahasa dan adat Melayu (1858).
Jumlah gurindam setiap pasal nya bervariasi 5 sampai 11 bait. Dinamakan Gurindam Duabelas karena terdiri dari 12 pasal, antara lain berisikan ibadat, kewajiban raja, kewajiban anak kepada orang tua, tugas orang tua kepada anaknya, budi pekerti yang baik, hidup bermasyarakat (Rahmanto, 2004:275). Berikut beberapa contoh yang berasal dari pasal kelima :
Jika hendak mengenal orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa.
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah pada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang berilmu,
bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.
Raja Ali Haji percaya bahwa pengabaian bahasa dan adat yang telah mapan akan mengakibatkan kerajaan hancur. Sebagai pengikut al-Ghazali ia percaya bahwa penting bagi raja untuk menyediakan bahan pengajaran batin rakyatnya agar mereka memperhatikan seluruh ajaran Islam dan mempersiapkan diri untuk dunia kemudian.
Pada tahun 1880 beberapa pujangga Penyengat membentuk Kelompok Rusydiyah yang mempelajari budaya dan agama dengan percetakan sendiri. Percetakan lain yang dijalankan di Pulau Lingga menerbitkan dokumen resmi juga karya untuk hiburan. Kelompok Rusdiyah menulis jurnal reformasi Islam yang diberi nama al Imam yang diedarkan dari Singapura hingga seluruh dunia berbahasa Melayu dan menjadi suara Islam Modern (Hooker, 2002:99).
Nama Riau-Lingga serta Raja Ali Haji menarik cendikia Eropa untuk datang dan belajar di sana. Mereka menyusun kamus dan menyalin teks Riau sebagai contoh bahasa Melayu yang baik. Bahasa inilah yang nantinya dipilih sebagai bahasa persatuan di Hindia Bekanda dan menjadi dasar bahasa nasional Republik Indonesia.
Raja Ali Haji juga menjadi ahli agama Islam dan terus menggubah teks. Cucunya yang bernama Raja Haji Abdullah mewarisi bakat kakeknya. Ia fasih berbahasa Arab, belajar di Mekah, bekerja sebagai Hakim dan dihormati karena ilmu ghaibnya. Konon ia memiliki tengkorak manusia yang dapat meramal kejadian dan pena yang bisa menulis sendiri. Ia pun seorang pelukis, pemahat dan penulis.
Di Pulau Lingga pada tahun 1930-an seorang keturunan Sultan Melayu menggubah teks yang menyajikan pilihan pandangan sejarah Riau selain Tuhfat al Nafis karya Raja Ali Haji.
Banyak karya dari Riau-Lingga diterbitkan oleh Ahmadiah Press di Singapura yang dimiliki saudara Raja Ali Haji. Percetakan masih berjalan hingga 1980-an.
Pendudukan Jepang atas Kepulauan Riau-Lingga berakibat pada terhentinya tradisi menulis di daerah ini.
Pemerintah RI menunjang usaha-usaha inventarisasi buku dan naskah di kepulauan ini dengan membuat Pusat Penelitian Riau di Universitas Riau di Pekanbaru. Pada tahun 1983 didirikan Yayasan Indera Sakti untuk memelihara dan menyimpan peninggalan sejarah, gedung, teks serta naskah khususnya karya Raja Ali Haji.
Komentar
Posting Komentar