Pemberontakan Trunajaya

Trunajaya (1640-1680) adalah putra Madura yang menjadi menantu Raden Kajoran-pemimpin spirutual keturunan Sunan Bayat. Trunajaya mengadakan perlawanan terhadap Amangkurat I dan Amangkurat II karena kedua raja itu bekerja sama dengan Belanda. Perjuangan Trunajaya mendapat bantuan penuh dari rakyat Madura. Ia pun dibantu Kraeng Galesung dari Makasar dan Panembahan Giri dari Jawa Timur (Soebagijo I.N., 2004).
Trunajaya berontak pada tahun 1674 untuk melepaskan Madura dari kekuasaan Mataram karena ketidakpuasannya melihat pamannya Pangeran Cakraningrat II yang memerintah Madura sebagai Bupati yang ditunjuk Amangkurat I akan tetapi tidak memerintah Madura secara nyata. Trunajaya mengajak Adipati Anom - putra Amangkurat I- untuk menggulingkan kekuasaan ayahnya dengan janji Adipati Anom akan menjadi raja Mataram jika pemberontakan usai.
Pemberontakan dimulai dari Madura kemudian menjalar ke seluruh wilayah pesisir pantai utara Jawa sehingga melumpuhkan kekuatan laut Mataram.
Trunajayapun menyatakan dirinya sebagai keturunan Majapahit dan berhak atas Madura. Ia menjatuhkan Cakraningrat II dari jabatannya sebagai bupati dan mengangkat dirinya sendiri sebagai panembahan. Atas permintaan Panembahan Giri, Trunajaya memimpin pemberontakan di Jawa yang sudah mulai berkobar. Tentara Trunajaya menyapu bersih pesisir utara Jawa dari sisa-sisa tentara Mataram. Rakyat Makasar di bawah pimpinan Kraeng Galesung membantu Trunajaya dengan kapal-kapalnya untuk mengacaukan pengiriman beras dari Mataram ke Batavia.
Belanda dibantu pasukan dari Maluku dan Bugis segera mengirimkan angkatan lautnya untuk membantu Mataram. Secara bersama-sama mereka memukul tentara Kraeng Galesung yang bersatu dengan tentara Trunajaya. Melihat pemberontakan Trunajaya yang semakin berkobar Adipati Anom merasa khawatir dan memutuskan menarik dukungannya kepada Trunajaya.
Ajakan Kompeni kepada Trunajaya dan Kraeng Galesung untuk berunding bertepuk sebelah tangan. Seluruh pantai utara dari Semarang sampai Pasuruan dikuasai pemberontak. Kompeni mengajak Mataram berunding dan berjanji memberi bantuan dengan syarat yang berat antara lain Mataram melepaskan Kerawang dan Priangan. Karena Mataram tidak setuju, Kompeni berpaling pada Trunajaya dan bersedia menerimanya sebagai raja asal mau menjual tanah airnya dan hal ini ditolak Trunajaya. Pasukan Trunajaya bahkan sudah menyerbu Kerta dan menduduki Keraton Mataram di Plered. Tanda tanda kebesaran kraton sudah jatuh di tangan Trunajaya dan segera dibawa ke Kediri.
Amangkurat I sempat meloloskan diri dan mengembara dari desa ke desa hingga mangkat di Tegal Arum. Sebelum itu ia sempat menunjuk anaknya, Adipati Anom sebagai penggantinya dengan gelar Amangkurat II dan menasihatinya untuk menghubungi Kompeni di Batavia. Amangkurat II tidak sempat ke Jakarta karena situasi yang mendesak. Ia bertemu Cornelis Speelman, panglima tentara Kompeni, di Jepara. Ia pun menandatangani perjanjian yang merugikan Mataram. 1. Semua pelabuhan di pesisir pulau Jawa dari Kerawang hingga Belambangan digadaikan kepada VOC; 2. pelabuhan-pelabuhan ini akan diserahkan kembali kepada Susuhunan bila semua utang sudah dibayar; 3. semua wilayah sebelah barat Kali Pamanukan hingga Laut Kidul diakui sebagai daerah Kompeni; 4. VOC memegang pemasukan monopoli kain dari India dan Persia serta seluruh beras Mataram; 5. istana Kartasura diberi pengawalan tentara Belanda (Sudiyono, 2004:436).
Kompeni mulai bergerak di bawah pimpinan Tack bersama tentara Mataram menuju Kediri untuk memukul mundur pasukan pemberontak. Tack berhasil merebut mahkota kerajaan dan secara kurangajar meminta Amangkurat II menebusnya sebanyak 100 real. Trunajaya dan Kraeng Galesung bersama pasukan mereka terdesak dan bertahan di Bangil.
Pada tahun 1679 Kraeng Galesung bersama anak buahnya gugur dalam pertempuran di dekat Surabaya. Trunajaya ditangkap Kapten Jonker (yang dibantu Arung Palakka dari Bugis) dan diserahkan kepada Amangkurat II untuk kemudian dibunuh pada tahun 1680. Panembahan Giri dihukum mati oleh Belanda. Dengan demikian patahlah kekuatan pesisiran yang melawan Belanda. Ibu kota Mataram yang didirikan oleh Sultan Agung ditinggalkan dan diganti dengan Kartasura. Berakhirlah era maritim Mataram sejak ibukota Mataram pindah ke pedalaman. Era Itu juga menandai diserahkannya Mataram kepada VOC.
Selama pemberontakan Trunajaya, Sultan Ageng dari Banten menyatakan diri berpihak kepada pemberontak, mengirim amunisi kepada mereka dan mengganggu kapal-kapal VOC dan wilayah-wilayahBatavia. Sultan Ageng juga menulis surat kepada Amangkurat II pada tahun 1678, menuduhnya sebagai bukan Muslim maupun Kristen melainkan di antara keduanya, dan bukan lagi seorang raja melainkan seorang biasa di bawah kendali VOC. Sultan Ageng juga mengepung Batavia, tetapi begitu mendapat info propaganda dari VOC bahwa Kompeni sudah memperoleh kemenangan di Kediri, Sultan Ageng pun tidak bergerak (Ricklefs, 2005: 283).
Bagaimanapun Trunajaya nyaris menjadi raja Mataram dan mendirikan dinasti baru di Jawa.
Sejak saat itu orang-orang Bugis dan Makasar terlibat sebagai pasukan Mataram sehingga ada kesatuan Bugisan di Mataram hingga saat ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan