Cultuur Stelsel (Tanam Paksa)
Sistem ini dirancang oleh Gubernur Jendral Johannes van den Bosch untuk mengatasi kosongnya keuangan negara Belanda akibat Perang Dipanagara (1830), Perang Kemerdekaan Belgia dan kekurangan penerimaan pajak tanah. Tanam Paksa ini merupakan gabungan antara Preangerstelsel dan pajak tanah.
Semula untuk mengisi kekosongan kas negara itu, Belanda ingin menjalankan pertanian sesuai adat istiadat masyarakat pribumi tetapi sistem ini gagal dilaksanakan.
Meskipun ditentang oleh para pemimpin kelompok liberal di Belanda seperti Elout dan Raad van Indie, usul tersebut tetap disetujui oleh Raja Willem I karena kosongnya kas negara Belanda.
Dalam pelaksanaannya terjadi perbedaan antara kebijakan dan implementasinya . Beberapa contoh : (1) rakyat menanam seperlima bagian tanahnya dengan tanaman ekspor seperti kopi, tebu, nila dan tembakau secara sukarela. Dalam praktik tanah untuk tanaman ekspor mencapai separuh bahkan seluruh bagian sawah desa; (2) tanah yang ditanami tanaman ekspor dibebaskan dari pajak tanah. Praktiknya tanah tetap dikenai pajak; (3) setiap kelebihan hasil tanaman dari jumlah pajak yang harus dibayarkan akan dikembalikan ke desa atau rakyat. Praktiknya pengembalian kelebihan hasil sangat sedikit tidak sebanding dengan nilai kelebihan tersebut; (4) kegagalan panen akan ditanggung pemerintah. Praktiknya kegagalan panen lebih banyak ditanggung oleh petani sendiri; (5) wajib tanam paksa dapat diganti dengan pencurahan tenaga sukarela untuk pengangkutan, kerja di pabrik atau perkebunan pemerintah. Praktiknya tenaga sukarela ternyata dilaksanakan secara paksa dan melebihi waktu yang telah ditetapkan dan tidak jarang jauh dari tempat tinggalnya sehingga petani tidak sempat menanam padi.
Sistem insentif bagi petugas memperparah situasi. Tidak jarang para petugas berusaha keras mempertinggi produksi dengan kekerasan dan tekanan kepada rakyat. 800.000 keluarga atau 4 juta orang atau seperempat jumlah penduduk terlibat dalam usaha ini. Di pulau Jawa misalnya semua laki-laki dari beberapa desa dikerahkan menanam nila selama tujuh bulan pada tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Sementara sekitar 5.000 laki-laki dan 3.000 ekor kerbau mengerjakan tanah pabrik selama lima bulan.
Diberitakan bahwa pekerjaan di pabrik tiga kali lebih berat daripada pekerjaan mengolah sawah. Jumlah pohon kopi diperbanyak sewenang-wenang dan para penanam kopi dikumpulkan di lokasi konsentrasi dan sering sangat jauh dari desanya. Pekerjaan berat juga dilakukan untuk pengangkutan, pengolahan hasil di pabrik, pembuatan jalan, pembuatan bendungan dan saluran-saluran airnya serta pembuatan jembatan-jembat an yang semuanya tidak diupah.
Selama tahun 1841-1863 Belanda memperoleh keuntungan 461 juta gulden. Tahun 1863-1866 keuntungan mencapai 692 juta gulden. Tahun 1867-1877 keuntungan mencapai 151 juta gulden. Belanda pun dapat melunasi utangnya dan kekosongan kas dapat diatasi. Pelayaran antara Hindia Belanda dan Belanda berkembang melalui pengapalan barang oleh NHM (Nederlandsche Handelmaatschap piy) dan Amsterdam menjadi pusat pasaran dunia untuk hasil-hasil tropis. Hasil tenun juga ikut berkembang.
Tanam Paksa menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat karena menimbulkan bencana kelaparan. Pada tahun 1848 Demak mengalami kelaparan. Hal yang sama terjadi di Grbogan pada tahun 1849. Di sisi lain rakyat menjadi pekerja keras dan disiplin; mengenal cara bercocok tanam yang benar dan modern; menerima manfaat dari pembangunan bendungan, saluran air, jalan raya dan jembatan; serta mengenal tanaman yang laku di pasaran seperti kopi, nila, kina, karet, tembakau dan tebu.
Tokoh tokoh seperti Multatuli, Vitalis dan Baron van Hoevel melancarkan desakan agar Tanam Paksa dihentikan. Tanam Paksa pun dihentikan secara bertahap. Lada pada tahun 1862. Nila pada tahun 1865. Tembakau pada tahun 1866. Tebu pada tahun 1890. Kopi pada tahun 1916. UU Landreform keluar pada tahun 1870 dan secara resmi tanam paksa dihentikan.
Menurut Sudibjo (ENI Vol. 4, 2004:204) penghapusan berbagai jenis tanam paksa itu terlambat karena sebenarnya kaum liberal sudah berkuasa di Belanda sejak tahun 1848. Jelas nampak keengganan kaum liberal menghentikan tanam paksa karena sistem itu banyak menghasilkan keuntungan bagi negri mereka.
Semula untuk mengisi kekosongan kas negara itu, Belanda ingin menjalankan pertanian sesuai adat istiadat masyarakat pribumi tetapi sistem ini gagal dilaksanakan.
Meskipun ditentang oleh para pemimpin kelompok liberal di Belanda seperti Elout dan Raad van Indie, usul tersebut tetap disetujui oleh Raja Willem I karena kosongnya kas negara Belanda.
Dalam pelaksanaannya terjadi perbedaan antara kebijakan dan implementasinya
Sistem insentif bagi petugas memperparah situasi. Tidak jarang para petugas berusaha keras mempertinggi produksi dengan kekerasan dan tekanan kepada rakyat. 800.000 keluarga atau 4 juta orang atau seperempat jumlah penduduk terlibat dalam usaha ini. Di pulau Jawa misalnya semua laki-laki dari beberapa desa dikerahkan menanam nila selama tujuh bulan pada tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Sementara sekitar 5.000 laki-laki dan 3.000 ekor kerbau mengerjakan tanah pabrik selama lima bulan.
Diberitakan bahwa pekerjaan di pabrik tiga kali lebih berat daripada pekerjaan mengolah sawah. Jumlah pohon kopi diperbanyak sewenang-wenang
Selama tahun 1841-1863 Belanda memperoleh keuntungan 461 juta gulden. Tahun 1863-1866 keuntungan mencapai 692 juta gulden. Tahun 1867-1877 keuntungan mencapai 151 juta gulden. Belanda pun dapat melunasi utangnya dan kekosongan kas dapat diatasi. Pelayaran antara Hindia Belanda dan Belanda berkembang melalui pengapalan barang oleh NHM (Nederlandsche Handelmaatschap
Tanam Paksa menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat karena menimbulkan bencana kelaparan. Pada tahun 1848 Demak mengalami kelaparan. Hal yang sama terjadi di Grbogan pada tahun 1849. Di sisi lain rakyat menjadi pekerja keras dan disiplin; mengenal cara bercocok tanam yang benar dan modern; menerima manfaat dari pembangunan bendungan, saluran air, jalan raya dan jembatan; serta mengenal tanaman yang laku di pasaran seperti kopi, nila, kina, karet, tembakau dan tebu.
Tokoh tokoh seperti Multatuli, Vitalis dan Baron van Hoevel melancarkan desakan agar Tanam Paksa dihentikan. Tanam Paksa pun dihentikan secara bertahap. Lada pada tahun 1862. Nila pada tahun 1865. Tembakau pada tahun 1866. Tebu pada tahun 1890. Kopi pada tahun 1916. UU Landreform keluar pada tahun 1870 dan secara resmi tanam paksa dihentikan.
Menurut Sudibjo (ENI Vol. 4, 2004:204) penghapusan berbagai jenis tanam paksa itu terlambat karena sebenarnya kaum liberal sudah berkuasa di Belanda sejak tahun 1848. Jelas nampak keengganan kaum liberal menghentikan tanam paksa karena sistem itu banyak menghasilkan keuntungan bagi negri mereka.
Komentar
Posting Komentar