Perang Aceh.

Terkait Perang Aceh setidaknya ada tiga sumber masing-masing dengan pendekatan berbeda-beda. Pertama, dari tulisan Masyhuri pada Ensiklopedi Nasional Indonesia Vol. 2. Kedua, dari Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Bab 13 Daerah-daerah Luar Jawa +/- 1800-1910. Ketiga, dari tulisan Ibrahim Alfian dari Jurusan Sejarah UGM dalam artikelnya pada Indonesian Heritage Vol. 3 Sejarah Modern Awal. Ricklefs nampaknya lebih melihat Aceh dalam konteks persaingan ekonomi Belanda vs Inggris dan Belanda-Inggris vis a vis AS Perancis Turki. Alfian melihat Aceh dalam konteks pertahanan diri dan kesyahidan Islam dalam perlawanannya terhadap Belanda atau Kafir. Sedangkan Masyhuri melihat Aceh lebih ke dalam konteks sosial budaya Aceh sendiri yang secara tepat dipetakan oleh Snouck Hurgronye. Saya mencoba memadukan dalam tulisan pendek ini.
Sejak pendirian Penang (1786) dan Singapura (1819) hubungan Inggris dan Sumatra semakin luas. Apalagi Aceh adalah penghasil separoh dari lada dunia. Tahun 1819 Inggris menjamin kedaulatan Aceh dan Turki diingatkan untuk memberi perlindungan pada Aceh sebagaimana janji mereka diabad ke-16. Untuk menghindari konflik Inggris-Belanda di Selat Malaka dibuatlah Perjanjian London pada bulan Maret 1824 yang mengatur bahwa kekuasaan Inggris mencakup Semenanjung Malaya dan ruang lingkup Belanda mencakup Sumatra dan kemerdekaan Aceh dijamin. Situasi berubah ketika pada tahun 1848 politik perdagangan Belanda semakin liberal. Inggris berpendapat lebih baik Aceh dikuasai Belanda daripada jatuh ke tangan AS dan Perancis atau Spanyol. Pada saat itu terjadi benturan kepentingan politik dan ekonomi antara kesultanan Aceh yang sedang meluaskan pengaruh ke selatan dan Belanda meluaskan pengaruh ke utara sebagai kelanjutan kemenangan Belanda di Minangkabau dalam Perang Padri (kata Padri berasal dari Pedir, nama pelabuhan di Aceh tempat pemberangkatan haji saat itu).
Aceh memperkuat diri dengan mengirim utusan ke Perancis,Turki, dan Spanyol. Utusan Aceh bahkan diterima oleh Raja Napoleon III. Pada tahun 1854 seorang pemimpin Aceh yang cakap, Tuanku Ibrahim yang bergelar Sultan Ali Alauddin Mansur Syah memperluas kekuasaannya ke selatan yaitu ke Langkat, Deli dan Serdang. Sementara itu Belanda mencaplok daerah lada di pantai timur Sumatra. Benturan kepentingan Aceh dan Belanda akhirnya tidak terhindarkan.
Pada bulan November tahun 1871 Inggris dan Belanda menandatangani Perjanjian Sumatra yang memberikan kebebasan pada Belanda menguasai Aceh.
Pada awal tahun 1873 konsul Amerika di Singapura mengadakan pembicaraan dengan utusan Aceh untuk mewujudkan perjanjian Aceh-AS. Belanda memandang hal ini sebagai alasan untuk campur tangan.
Perang dimulai ketika Belanda menyerang ibukota Aceh pada 26 Maret 1873 dan menduduki Masjid Raya. Empat hari setelah Belanda datang memaksakan kedaulatan Belanda di Aceh, Belanda kemudian mendaratkan pasukan 3000 orang. Tentara ini mundur secara memalukan sebulan kemudian setelah kehilangan komandan dalam perang. Jendral Kohler tertembak dan tewas. Rakyat Aceh bersatu padu untuk bertempur dengan jumlah mencapai puluhan ribu orang. Belanda menghadapi lawan yang paling kaya, paling tegas, paling terorganisir, paling baik persenjataannya dan paling kuat rasa kemerdekaannya. Mereka harus berjuang sendirian karena baik Turki, Inggris, AS dan Perancis tidak memberikan bantuan konkrit. Meskipun begitu Belanda meninggalkan Aceh pada 29 April 1873.
Kini Belanda merasa kehormatan mereka ternoda dan harus dibayar dengan penaklukkan militer, dimulai pada November 1873 dengan 14.300 orang terdiri dari 8.500 serdadu, 1.500 tentara cadangan, 4.300 pelayan dan kuli. Istana diambil alih pada Januari 1874 di tengah wabah kolera yang memakan ribuan korban kedua belah pihak. 1.400 orang di pihak penjajah mati. Belanda mengumumkan Aceh berhasil dicaplok dan kesultanan dihapuskan. Tapi sebelumnya Sultan Mahmud dan pengikutnya mundur ke wilayah pegunungan. Di sana Sultan Mahmud wafat karena penyakit kolera. Cucu Tuanku Ibrahim yang bernama Tuanku Muhammad Daud Syah yang baru berumur enam tahun diproklamasikan sebagai Sultan Ibrahim Mansur Syah. Pemerintah kesultanan dijalankan oleh Dewan Mangkubumi yang dikepalai oleh Tuanku Hasyim. Pertempuran melawan Belanda terus dilancarkan secara gerilya dibawah pimpinan para ulama antara lain Panglima Polim, Tuanku Cik Di Tiro, Teuku Umar dsb.
Setelah enam tahun dan melewati ribuan kematian pasukan Belanda di bawah Mayjen Karel van der Heijden menaklukkan lembah Sungai Aceh. Pengepungan angkatan laut memaksa ulubalang (kepala kawasan) pesisir Aceh menyerah. Lelah berperang Belanda menunjuk gubernur sipil dan membangun Masjid Raya sebagai lambang rujuk (1879). Belanda menarik semua kekuatan dalam barisan terpusat yang dibentengi secara kuat di sekitar ibukota (1884). Banyak wilayah pedalaman kembali berada dalam kekuasaan pihak Aceh. Banyak orang Aceh merasa bahwa Tuhan telah memberi kemenangan.
Setelah tahun 1884 perlawanan rakyat Aceh menjadi lebih hebat. Pada waktu itu Sultan Muhammad Daud Syah telah dewasa. Perlawanan rakyat Aceh diilhami terutama oleh Hikayat Perang Sabil yang banyak menekankan bahwa mati dalam perang dengan Belanda adalah syahid. Para syuhada langsung menuju ke surga dan mereka akan menikmati kebahagiaan seperti menikahi bidadari. Militer Belanda membakar semua salinan teks tersebut. Damste menyelamatkan beberapa salinan sebagai kunci untuk memahami mentalitas orang Aceh.
Perang Belanda atau Perang Kafir memperkuat keyakinan orang Aceh bahwa Islam adalah jatidirinya. Perang Suci dalam Islam adalah jihad fisabilillah (perang di jalan Allah) atau perang sabil seperti disebut dalam salah satu surat dalam Al-Quran.
Pengampunan (At-Tawbah):111 - Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.
Salah seorang guru agama di tengah medan perang, Syeikh Abbas Ibnu Muhammad mengatakan dalam Thadkhirat ar-Radikin (1889) bahwa Aceh merupakan Darul Islam kecuali daerah yang diperintah Belanda menjadi Darul Harb. Jihad merupakan kewajiban moral (fardu'ain) orang Islam, termasuk wanita dan anak anak, berperang untuk mengembalikan tanah yang dikuasai oleh orang kafir kepada Darul Islam.
Pada tahun 1898-setelah 25 tahun perang dan pergantian 14 gubernur- kebijakan penaklukan yang kejam ditentukan oleh Jendral J.B. van Heutsz sebagai gubernur militer. Ia dinasihati oleh seorang ahli Islam, Snouck Hurgronje. Hurgronje berhasil menyamar masuk ke dalam masyarakat Aceh dan melakukan penyelidikan. Menurutnya tidak ada yang dapat diperbuat untuk mematahkan perlawanan Aceh kecuali memecah-belah persatuan rakyat Aceh. Dia menyarankan untuk memecah persatuan antara para pemimpin agama (ulama) dengan pemimpin adat (ulubalang). Ulubalang diperlakukan seperti para bupati di Jawa atau penghulu di Minang. Mereka beroposisi terhadap para ulama.
Bagaimanapun pertimbangan ekonomi berperan dalam kebijakan Van Heutsz. Industri minyak Hindia Timur Belanda berkembang. Perusahaan minyak Belanda De Koninklijke tampaknya terancam oleh munculnya Amerika sebagai pesaing. De Koninklijke memobilisasi koneksi politiknya di Den Haag dan Batavia untuk mendesak diambilnya langkah militer. Itulah yang dilakukan Van Heutsz dan Hurgronje di sisinya.
Van Heutsz diganti tiga tokoh militer yang lain : Van der Wijck, Van Dallen dan Swart. Bersenjata ringan dan satuan gerak cepat marechausse (marsose) mengejar kelompok perlawanan tanpa ampun ke hutan dan rawa tempat para pejuang berlindung. Sultan Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polim menyerah pada tahun 1903. Tapi perlawanan baru benar-benar berhenti sepuluh tahun kemudian. Meski orang Aceh beranggapan perlawanan tidak berhenti.
Para pemimpin Aceh menyadari perang suci telah gagal. Mereka mulai memperhatikan pandangan bahwa jihad dilakukan jika agama Islam ditindas. Jika Islam tidak ditekan seperti Islam di India-Inggris atau Islam di Hindia Belanda maka tidak ada kewajiban jihad. Mereka pun membuat perdamaian (taslim) seperti saudara mereka di India. Pada tahun 1903 para uleebalang bersedia bekerjasama dengan Belanda. Hurgronye mengajukan bentuk kesepakatan politik yang disebut Korte Verjklaring (Pernyataan Singkat) sejak tahun 1898 dan menjadi bentuk standar perjanjian di seluruh Nusantara di mana penguasa Indonesia mengskui kekuasaan pemerintah Hindia Belanda dan setuju menerima perintah-perintahnya.
Pada tahun 1905 Sultan menghubungi konsul Jepang di Singapura. Pada tahun 1907 ia merencanakan suatu serangan terhadap garnisun Belanda di Kutaraja tapi gagal. Sultan pun diasingkan ke Ambon.
Belanda mengalami kerugian sangat besar material maupun nyawa. Sampai bulan April 1874 Belanda mengalami kehilangan 1.400 orang serdadu. Selanjutnya rata-rata 150 orang tewas setiap minggunya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan