Christiaan Snouck Hurgronje (Haji Abdul Gaffar)
Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936).
Nama Hurgronje menjulang karena Perang Aceh. Cendekiawan Belanda yang menganjurkan perpecahan antara ulama dan uleebalang (bangsawan) ini lahir di kota Tholen, Belanda barat daya. Berayah seorang pendeta Kristen, tidak mengherankan jika setelah lulus SMU Hurgronje melanjutkan menjadi mahasiswa jurusan Teologi di Universitas Leiden. Namun entah mengapa tidak lama kemudian ia pindah ke Fakultas Sastra Jurusan Arab pada universitas yang sama. Ia pun menyandang gelar Doktor dalam sastra Arab pada tahun 1880 dalam usia 23 tahun, menunjukkan bahwa ia berotak cemerlang dan minatnya besar dalam mempelajari bahasa. Ada yang mengatakan ia menguasai 5 bahasa : Belanda, Arab, Aceh, Sunda dan Jawa. Tapi ada juga yang mengatakan ia menguasai 15 bahasa. Pada tahun 1884 ia memulai karir sebagai dosen dan pada tahun 1906 diangkat menjadi guru besar.
Bagi Hurgronje, mempelajari bahasa berarti harus mendalami kebudayaan masyarakat pemakai bahasa tersebut. Karena prinsip itu ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan masuk agama Islam dan mengubah namanya menjadi Abdul Gaffar pada tanggal 16 Januari 1885. Sebagai muslim ia berkhitan, bershalat, berpuasa, berzakat dan beribadah haji. Dalam suratnya kepada seorang temannya, ahli agama Islam di Jerman, ia menulis bahwa hal itu dilakukannya sebagai izhar al Islam atau bersikap Islam secara lahiriah.
Hurgronye melakukan penelitian mengenai pola kehidupan jemaah haji Hindia Belanda di Arab, sambil melakukan penelitian di Jeddah. Hasilnya adalah laporan 400 halaman mengenai aspek kehidupan di kota suci Makah secara rinci.
Bosan dengan mengajar ia melakukan penelitian di Aceh. Ia tiba di Batavia pada 11 Mei 1889 dan ditunjuk sebagai penasihat pemerintah kolonial urusan pribumi dan Islam. Ia menjadi arsitek seluruh kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang terkait dengan Islam. Ia lebih senang tinggal berbaur dengan pribumi di Gang Sentiong dan Jalan Asemka Jakarta.
Hurgronye menikah tiga kali. Yang pertama dengan Sengkana, anak penghulu Ciamis-sepupu istri Bupati Ciamis- dan memiliki empat anak. Keempat anak tersebut diasuh istri Bupati Ciamis saat ibunya wafat. Kedua, empat tahun setelah kematian istri pertama, dengan anak kepala penghulu Bandung, R.H. Mochammad Soe'eb (yang dikenal sebagai Kalipah Apo) dan dianugrahi seorang putra bernama Raden Joesoef. Ketiga, menikah saat kembali ke Belanda dan memiliki seorang putri bernama Christine. Meski perkawinan Hurgronje dengan perempuan pribumi menimbulkan kemarahan para pejabat Belanda tetapi semua anak-anak Hurgronje tercatat secara sah dalam administrasi Belanda dan memiliki hak waris.
Joesoef anak Hurgronye dari perkawinan keduanya, memiliki 11 anak. Anak pertamanya, Edi Joesoef adalah pemain badminton nasional dalam tim piala Thomas Indonesia saat itu.
Nama Hurgronje menjulang karena Perang Aceh. Cendekiawan Belanda yang menganjurkan perpecahan antara ulama dan uleebalang (bangsawan) ini lahir di kota Tholen, Belanda barat daya. Berayah seorang pendeta Kristen, tidak mengherankan jika setelah lulus SMU Hurgronje melanjutkan menjadi mahasiswa jurusan Teologi di Universitas Leiden. Namun entah mengapa tidak lama kemudian ia pindah ke Fakultas Sastra Jurusan Arab pada universitas yang sama. Ia pun menyandang gelar Doktor dalam sastra Arab pada tahun 1880 dalam usia 23 tahun, menunjukkan bahwa ia berotak cemerlang dan minatnya besar dalam mempelajari bahasa. Ada yang mengatakan ia menguasai 5 bahasa : Belanda, Arab, Aceh, Sunda dan Jawa. Tapi ada juga yang mengatakan ia menguasai 15 bahasa. Pada tahun 1884 ia memulai karir sebagai dosen dan pada tahun 1906 diangkat menjadi guru besar.
Bagi Hurgronje, mempelajari bahasa berarti harus mendalami kebudayaan masyarakat pemakai bahasa tersebut. Karena prinsip itu ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan masuk agama Islam dan mengubah namanya menjadi Abdul Gaffar pada tanggal 16 Januari 1885. Sebagai muslim ia berkhitan, bershalat, berpuasa, berzakat dan beribadah haji. Dalam suratnya kepada seorang temannya, ahli agama Islam di Jerman, ia menulis bahwa hal itu dilakukannya sebagai izhar al Islam atau bersikap Islam secara lahiriah.
Hurgronye melakukan penelitian mengenai pola kehidupan jemaah haji Hindia Belanda di Arab, sambil melakukan penelitian di Jeddah. Hasilnya adalah laporan 400 halaman mengenai aspek kehidupan di kota suci Makah secara rinci.
Bosan dengan mengajar ia melakukan penelitian di Aceh. Ia tiba di Batavia pada 11 Mei 1889 dan ditunjuk sebagai penasihat pemerintah kolonial urusan pribumi dan Islam. Ia menjadi arsitek seluruh kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang terkait dengan Islam. Ia lebih senang tinggal berbaur dengan pribumi di Gang Sentiong dan Jalan Asemka Jakarta.
Hurgronye menikah tiga kali. Yang pertama dengan Sengkana, anak penghulu Ciamis-sepupu istri Bupati Ciamis- dan memiliki empat anak. Keempat anak tersebut diasuh istri Bupati Ciamis saat ibunya wafat. Kedua, empat tahun setelah kematian istri pertama, dengan anak kepala penghulu Bandung, R.H. Mochammad Soe'eb (yang dikenal sebagai Kalipah Apo) dan dianugrahi seorang putra bernama Raden Joesoef. Ketiga, menikah saat kembali ke Belanda dan memiliki seorang putri bernama Christine. Meski perkawinan Hurgronje dengan perempuan pribumi menimbulkan kemarahan para pejabat Belanda tetapi semua anak-anak Hurgronje tercatat secara sah dalam administrasi Belanda dan memiliki hak waris.
Joesoef anak Hurgronye dari perkawinan keduanya, memiliki 11 anak. Anak pertamanya, Edi Joesoef adalah pemain badminton nasional dalam tim piala Thomas Indonesia saat itu.
Ada yang menganggap
Hurgronje ulama besar, mufti Batavia, mufti Hindia Belanda dan syaikhul Islam. Ada pula yang menganggapnya sebagai mata-mata bahkan musuh umat Islam.
Hurgronje ulama besar, mufti Batavia, mufti Hindia Belanda dan syaikhul Islam. Ada pula yang menganggapnya sebagai mata-mata bahkan musuh umat Islam.
Sumber : Danan Priyatmoko, ENI Vol. 6, 2004:506 dll.
Komentar
Posting Komentar