Para Petarung Nusantara Abad Ke-17


1. Arung Palakka. 
Pada tahun 1660 Arung Palakka adalah satu di antara sekitar 10.000 orang Bugis Bone yang memberontak tapi berhasil ditumpas pihak Makasar. Lalu dia dan beberapa orang lainnya mencari perlindungan di Pulau Butung. VOC mengabulkan permintaan mereka untuk tinggal di Batavia. Di sana mereka menjadi serdadu VOC dan membuat pihak Belanda terkesan pada ketrampilan perang mereka.
Setelah Aru Palakka meninggal banyak orang Bugis bertempur dengan Kapten Jonker sebagai tentara bayaran Belanda bahkan masuk ke dalam kemiliteran Belanda di Mataram.
2. Kapten Jonker.
Pada tahun 1655 pimpinan orang Ambon di Batavia adalah seorang muslim bernama Kapten Jonker. Dia telah bertempur di pihak VOC melawan orang-orang Portugis di Timor dan Sri Lanka, melawan orang-orang Makasar, orang-orang Banten di Batavia, orang-orang Minang di Sumatra. Di Jawa dia bukan hanya bertempur melawan Trunajaya melainkan menawannya sendiri pada akhir tahun 1679. Pada Agustus 1689 terbongkar komplotan yang membuat VOC ngeri. Intelejen mengetahui bahwa Jonker telah bergabung dengan musuh-musuh VOC lainnya untuk merencanakan pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang Eropa di Batavia. Diduga dia telah menjalin hubungan dengan Amangkurat II dan kabarnya prajurit-prajurit, kuda dan dana sedang dikirim dari Kartasura untuk membantunya. Dengan terbongkarnya komplotan itu VOC berusaha menangkap Jonker. Tetapi Jonker mulai melakukan perampokan serta pembunuhan dan baru tertangkap dan dibunuh setelah dilakukan suatu pengejaran. Para pengikutnya kemudian melarikan diri ke Kartasura, di mana mereka memperoleh perlindungan. Kedudukan Jonker sebagai pimpinan orang Ambon yang menjadi serdadu VOC digantikan oleh kemenakannya yang beragama Kristen, Zacharias Bintang (meninggal 1730).
3. Karaeng Galesong. Pada tahun 1669 benteng Somba Opu yang dibanggakan rakyat Gowa jatuh dan dihancurkan Belanda. Pada tahun 1670 Sultan Hasanuddin wafat. Beberapa petinggi kerajaan yang tidak bisa menerima Perjanjian Bonggaya dan tidak menerima kepemimpinan Arung Palakka melanjutkan perlawanan. Di antaranya adalah Karaeng Galesong putra Sultan Hasanuddin. Ia dan rombongannya pergi ke Banten menjadi pasukan Banten melawan Belanda di bawah pimpinan Syekh Yusuf Makasar yang menjadi menantu Sultan Ageng. Dari Banten Karaeng Galesong dan orang orang Makasar pergi ke Jawa Timur bergabung dengan Trunajaya melawan Amangkurat I dan Belanda. Belakangan Karaeng Galesong berpisah dengan Trunajaya.
4. Cakraningrat.
Kemunculan Cakraningrat tidak terlepas dari upaya Sultan Agung untuk memusatkan kekuasaan Madura yang terpisah-pisah di bawah satu orang dari garis kepangeranan Madura dengan ibu kotanya di Sampang. Sesudah tahun 1678 para pangeran ini menggunakan nama Cakraningrat. Mereka nantinya memainkan peranan penting dalam politik Jawa sampai tahun 1740-an.
Setidaknya ada empat Cakraningrat dalam beberapa episoda peristiwa politik di Jawa. Cakraningrat I, Cakraningrat II, Cakraningrat III dan Cakraningrat IV. Bisa dikatakan sebagai sebuah Dinasti Cakraningrat di Madura.
Nama Cakraningrat sudah muncul pada episoda Amangkurat I dan II pada saat ia disingkirkan oleh Trunajaya maupun ketika ia mengambil alih Jawa Timur di utara Sungai Brantas. Saat itu Cakraningrat II dibantu oleh menantunya Angabei Jangrana I dan putranya Jangrana II. Cakraningrat juga berperan dalam membantu VOC melawan Surapati. Ia mendukung Pangeran Puger naik tahta Mataram. Nampaknya ia menginginkan raja Mataram yang lemah karena ingin meluaskan wilayah kekuasaannya di Jawa Timur.
Pada tahun 1712 Pangeran Cakraningrat III tidak bersedia menghadap ke istana Mataram diikuti Jayapuspita dari Surabaya pada tahun 1714. Tahun 1717 Surabaya berontak dan ditaklukkan VOC tahun 1718. Sikap Cakraningrat dipertanyakan VOC. Pada tahun 1718 dia naik ke kapal VOC dan terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan perkelahian dan kematiannya. Pasukan Bali kemudian merampok Madura Barat.
Pangeran Cakraningrat IV (1718-1753) melawan kekuasaan raja Mataram namun kemudian ia dikawinkan dengan adik perempuan raja. Meski begitu ia menunjukkan pembangkangan terhadap Pakubuwana II. Belakangan ia membantu VOC mengusir para pemberontak Cina dari Kartasura dan meminta kepada VOC untuk menghukum mati Pakubuwana. Tapi hal itu tidak dikabulkan.
Cakraningrat IV masih berambisi menjadi pemimpin di Jawa Timur tapi VOC tak pernah memberikannya. Ia pun menjalin hubungan dengan penguasa Surabaya, anak-anak Surapati, prajurit Bali dan memghentikan pembayaran cukai pada VOC. Karena diturunkan tahtanya oleh VOC, Cakraningrat menyatakan perang dan merebut Madura Timur, Pasuruan hingga Rembang. Akhirnya VOC berhasil mengepungnya sehingga ia melarikan diri ke Banjarmasin. Ia mencari perlindungan pada kapal Inggris tapi dia dirampok. Sultan menyerahkannya pada VOC yang membawanya ke Batavia dan kemudian membuangnya ke Tanjugharapan tahun 1746. Intervensi pembesar pembesar Madura di Jawa berakhir (Ricklefs, 2005: 216).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan