Perjanjian Giyanti

Setelah pemberontakan Cina mereda bukan berarti keadaan Mataram menjadi pulih, bahkan kekacauan semakin meningkat. Hubungan Pakubuwana II dengan para bangsawan Mataram menjadi tegang. Kini Raden Mas Said melakukan pemberontakan dari Sukawati. Pemberontakan itu membesar setelah Pangeran Mangkubumi bersekutu.
Saat Pakubuwana II akan mangkat (1749) ia menandatangani perjanjian penyerahan kerajaan ke tangan Kompeni. Adipati Anom dinobatkan menjadi Susuhunan Mataram sebagai vasal VOC dengan gelar Pakubuwana III.
Sementara itu, ketika mendengar bahwa Pakubuwana II sakit keras, Pangeran Mangkubumi segera mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan Kotagede sebagai pusat pemerintahannya. VOC menarik Pangeran Mangkubumi ke meja perundingan yang akhirnya melahirkan Perjanjian Giyanti 1755.



Pembagian Jawa.
Berdasarkan Perjanjian Giyanti, Mataram dibagi menjadi dua, yakni Mataram Surakarta Hadiningrat dengan Susuhunan Pakubuwono III sebagai rajanya dan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Hamengku Buwono I sebagai rajanya.
Sementara itu pemberontakan Raden Mas Said terus berlangsung. Menyadari makin sulitnya mencapai tujuan perjuangannya sebagai penguasa tunggal Mataram, pada tahun 1757 Raden Mas Said bersedia mengadakan perundingan dengan Pakubuwana III yang terkenal dengan Perjanjian Salatiga. VOC sebagai pihak ketiga memanfaatkannya untuk memecah belah Mataram.
Isi Perjanjian Salatiga menyatakan Raden Mas Said memperoleh : 1. Wilayah tertentu di lingkungan Kerajaan Surakarta; 2. Hak menggunakan gelar Pangeran Adipati Mangkunegara, setingkat Putra Mahkota; 3. Hak mempunyai tentara yang kemudian terkenal sebagai Legiun Mangkunegaran.
Raja-raja Mataram (versi Viekke)adalah sebagai berikut :
1. Panembahan Senapati (1582-1601)
2. Panembahan Krapyak atau Mas Jolang (1601-1613)
3. Sultan Agung atau Cakrakusumarahman (1613-1645)
4. Amangkurat I (1645-1677)
5. Amangkurat II (1677-1703)
6. Amangkurat III atau Sunan Mas (1703-1705)
7. Pakubuwana I atau Sunan Puger (1705-1719)
8. Amangkurat IV (1719-1725)
9. Pakubuwana II (1725-1749).
Setelah Perjanjian Giyanti Mataram dibagi menjadi dua kerajaan. Masing masing mendapat setengahnya.
Berikut nama raja-raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat (1749- ) :
Pakubuwana I
Pakubuwana II
Pakubuwana III
Pakubuwana IV
Pakubuwana V
Pakubuwana VI
Pakubuwana VII
Pakubuwana VIII
Pakubuwana IX
Pakubuwana X
Pakubuwana XI
Pakubuwana XII
Pakubuwana XIII.
Raja-raja Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat (1755 - ):
Hamengkubuwana I
Hamengkubuwana II
Hamengkubuwana III
Hamengkubuwana IV
Hamengkubuwana V
Hamengkubuwana VI
Hamengkubuwana VII
Hamengkubuwana VIII
Hamengkubuwana IX
Hamengkubuwana X.
Setelah Perjanjian Salatiga, Kasunanan Surakarta dibagi dua dengan Kadipaten Mangkunegaran.
Raja-raja muda Mangkunegara (1757- ):
Mangkunegara I
Mangkunegara II
Mangkunegara III
Mangkunegara IV
Mangkunegara V
Mangkunegara VI
Mangkunegara VII
Mangkunegara VIII
Mangkunegara IX.
Mengikuti jejak Belanda, Inggris di bawah Raffles melakukan devide et impera (pecah belah dan kuasai) terhadap Kasultanan Yogyakarta pada tahun 1813. Jika Mangkunegara diberi wilayah yang diambilkan dari Kasunanan Surakarta maka Paku Alam diberi wilayah yang diambil dari wilayah Kasultanan Yogyakarta. Dengan demikian berdirilah Kadipaten Pakualaman dengan rajanya Pakualam setingkat raja muda. Adapun raja-raja muda Kadipaten Pakualaman sejak tahun 1813 - sekarang adalah sebagai berikut :
Pakualam I
Pakualam II
Pakualam III
Pakualam IV
Pakualam V
Pakualam VI
Pakualam VII
Pakualam VIII
Pakualam IX.
Mataram yang jaya di masa pemerintahan Sultan Agung terbelah menjadi empat kerajaan besar dan kecil, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. VOC dan kemudian pemerintah Hindia Belanda mengatur rumah tangga kerajaan-kerajaan tersebut sampai tahun 1942 saat Belanda menyerah kepada Jepang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan