Perang Dipanagara

Menurut Peter Carey dari Trinity College, Oxford University (2002:112), meskipun Belanda berada di Indonesia sejak akhir abad ke-16 tetapi baru pada abad ke-19 mulai berusaha memperluas kewenangan penjajahannya yang mengakibatkan Belanda menguasai seluruh Indonesia. Seluruh Nusantara melawan secara dahsyat, lebih-lebih di Jawa : Belanda dipaksa bertempur sengit selama lima tahun yang dikenal sebagai Perang Jawa atau Perang Dipanagara (1825-1830).

Pemimpin perang ini, Pangeran Dipanagara (1785-1855) adalah putra sulung sultan ketiga Yogyakarta. Dipanagara dalam bahasa Sanskerta berarti cahaya kerajaan. Ia dibesarkan di rumah neneknya di Tegalreja, di luar kota Yogyakarta. Dalam dirinya mengalir darah Jawa Madura dan Sumbawa yang membuatnya mudah meletup bagai api. Karena itu raut wajahnya agak berbeda dengan raut wajah orang Jawa lainnya. Sehari hari ia bergaul dengan kalangan santri dan penduduk desa. Ia dididik sangat keras dalam tugas keagamaan. Pamannya, Mangkubumi, berkata bahwa sejak kecil Dipanagara senang mengembara sendirian ke gunung dan hutan, tinggal dengan santri miskin di pondok dan berpakaian seperti orang kebanyakan agar tidak dikenal banyak orang. Dalam otobiografinya dikatakan bahwa "daerah Tegalreja segera menjadi padat, banyak orang berkunjung ke sana. Semua mencari makan dan santri datang untuk mencari pengetahuan agama. Di sana penuh doa dan taqwa" (Babad Dipanagara). Selama mengembara Dipanagara bertemu Kiyai Maja, penasihat agama dan pembantunya dalam Perang Jawa.
Dipanagara seorang yang sangat beriman, dilihat sebagai Ratu Adil dan titisan Wisnu yang akan mendirikan kerajaan adil setelah masa kemerosotan moral.

Dipanegara melihat bagaimana Daendels menciptakan kepahitan di pedesaan Jawa dan melihat kakeknya Hamengkubuwana II diasingkan ke Penang Malaysia. Saat menjadi penasihat senior ayahnya Hamengkubuwana III ia berusaha meringankan beban petani miskin di Jawa. Tahun 1816 Belanda kembali ke Jawa memeras penduduknya untuk mengganti biaya perang melawan Napoleon. Para petani berhutang pada Cina untuk membayar pajak. Saudagar Jawa menderita. Para pangeran miskin menyewakan tanahnya pada Belanda. Buruh dimanfaatkan tanpa upah. Dipanagara tergerak memimpin pemberontakan.

Pangeran Dipanagara mengadakan rapat dengan para ulama dan pemimpin desa. Ia pun bersemedi dalam gua di pegunungan untuk menyiapkan batin dan memimpin kekuatan militer. Ia pun berkata kepada para penghulu keraton "Alhamdulillah ! Apalagi yang dinantikan umat kalau tidak menantikan tugas mulia dari Nya?". Ia pun mendapat wahyu sebagai Ratu Adil dan bersiap memimpin tentara melawan Belanda.

Pada bulan Juli 1825 seorang patih pro Belanda membuat jalan melalui tanahnya. Pangeran pun meninggalkan Yogya dan memulai pemberontakannya. Ia menyurati para ulama dan pemimpin dan mengajak mereka melawan Belanda, mengembalikan marwah kerajaan dan "ngluhurakeun agami Islam." Dukungan datang dari Surabaya hingga Bagelen dan Banyumas. Para bintara Belanda dan pemungut cukai Cina dibunuh. Serta merta kewibawaan Belanda pun runtuh. Penduduk pada wilayah di mana Pangeran memberi pengampunan pajak dan mengakhiri kerja paksa dinamakan merdikan (nampaknya dari sini asal usul kata merdeka).

Pangeran menulis surat pada Gubernur Jendral untuk menyerah dan mengakuinya sebagai penguasa dan pelindung agama di Jawa. Merasa tidak memiliki harapan menghadapi Sang Pangeran, Belanda membuat rencana licik. Dari Bagelen selatan dalam kondisi terjangkit malaria, Sang Pangeran diundang "bermusyawarah" dengan komandan Belanda Hendrik Merkus Baron de Kock di Magelang saat bulan puasa tahun 1830. Pada hari raya Idul Fitri Pangeran ditangkap dan diasingkan ke Manado (1830-1833) dan kemudian ke Makasar. Pada tahun 1855 Pangeran meninggal di kota ini karena sakit. Belakangan hari De Kock merasa bahwa perbuatannya sangat tidak pantas dilakukan dan menyesalinya tetapi orang-orang Belanda memusuhinya.

Sebelumnya Kiyai Madja telah tertangkap dan diasingkan ke Tondano, Minahasa, dan salah seorang pemimpin pasukan Dipanagara, Ali Basah Sentot Prawiradirdja sudah menyerah, dibuang dan wafat di Bengkulu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan