Multatuli
Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker (1820-1887) yang mendedikasikan keahlian mengarang untuk membela rakyat Banten yang menderita akibat penjajahan bangsanya sendiri. Multatuli masih bertalian darah dengan Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau Danu Dirja Setya Budhi (Dr. Setiabudi) tokoh politik indo yang juga membela rayat Indonesia melalui jalur politik.
Sejak berusia 18 tahun Multatuli bekerja pada pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Minahasa. Jabatannya yang terakhir adalah asisten residen Lebak di Rangkasbitung, Banten. Saat di Banten inilah keprihatinannya terhadap penderitaan rakyat memuncak. Penduduk Lebak diperas habis-habisan oleh Belanda melalui bupati beserta sanak keluarganya. Tahun 1856 Multatuli diberhentikan dari jabatannya karena berbeda pendapat dengan atasannya. Di pengadilan ia kalah dalam perkara itu dan ia pun kembali ke Eropa (Sorbagijo I.N., 2004:397).
Di Eropa Multatuli merekam penderitaan rakyat Banten yang ia saksikan sendiri ke dalam buku jenis roman berjudul Max Havelaar. Ia menggunakan nama samaran Multatuli yang artinya sangat menderita. Walaupun bukunya terbilang laku tetapi kehidupan Multatuli bisa dikatakan merana. Ia memiliki banyak utang. Ia pun gemar bergaul dengan banyak wanita. Multatuli meninggal sebagai orang miskin yang tersia-sia. Karya karyanya justru terkenal setelah ia tiada. Rumah kelahirannya di Amsterdam dijadikan museum.
Karya Multatuli yang lain adalah Ideeën (Gagasan-gagasa n) yang terdiri dari tujuh bundel, Vorstenschool (Sekolah Kerajaan) dan riwayat penghidupan Wouterje Pieterse.
Komentar
Posting Komentar