Kerajaan Minangkabau dan Perang Padri

Orang Minang mempunyai tiga raja : Raja Adat untuk adat, Raja Ibadat untuk keagamaan dan Raja Alam untuk urusan sehari-hari. Berkediaman di pedalaman dan pegunungan Sumatra tengah, raja Minang jarang tampak oleh rakyat Pesisir dan hanya sekali di abad ke-17 penjelajah Eropa berani mengunjungi raja Minangkabau sebelum dihancurkan para reformis Islam di abad ke-19. Raja-raja Minangkabau mengaku sebagai keturunan nabi Adam melalui garis Iskandar Zulkarnain dan kampung halaman mereka setua penciptaan dunia. Cahaya gaib raja diwarisi dari Sriwijaya yang bergerak ke atas menuju Sungai Batanghari ke ibukota kerajaan Adityawarman dan akhirnya ke Pagarruyung (Jane Drakard dari Departemen Sejarah Universitas Monash, 2002:60).

Raja Minangkabau termasyhur adalah Adityawarman yang berkuasa di Sumatra tengah antara tahun 1347-1374. Adityawarman pemuja Kalacakra, sinkretisme Siwa-Budha yang meliputi korban dan upacara persekutuan dengan Bhairawa dan sakti-nya untuk mencapai kebenaran tertinggi dan penyatuan melalui persatuan tubuh. Prasasti menggambarkannya sebagai raja menakutkan sekaligus pemurah. Ia Maharaja di Raja yang kekuasaannya mutlak yang mendatangkan kemakmuran kepada seluruh rakyat. Kerajaan Minangkabau kaya emas dan disebut sebagai Swarnadwipa (Negri Emas) sehingga Adityawarman disebut Raja Negeri Emas. Emas dan lada menarik perhatian orang Eropa terutama Portugis dan Belanda. Pada tahun 1660 VOC datang di pantai barat Sumatra tapi pada awal abad ke-18 para pangeran Minangkabau dan utusan istana memimpin perlawanan secara tepat guna karena kuatnya jatidiri yang terhubung dengan istana.
Sistem matrilineal ada sebelum Islam dan mungkin dimulai pada masa Adityawarman. Mereka tinggal di Rumah Gadang yang bisa menampung 100 orang. Atap gonjong lancip menjulang ke angkasa mengingatkan mereka pada legenda kemenangan kerbau mereka.

Setelah memeluk Islam para raja Minangkabau menjelaskan kekuasaan mereka sebagai sesuatu yang diperoleh dari Allah. Seorang raja Minangkabau menjelaskan dirinya ke VOC sebagai "Nur Allah dan keturunan Iskandar Zulkarnain yang merupakan sinar suci dan memiliki mahkota dari dua dunia, disembah melalui kekuatan Allah dan Nabi Nya." Tertulis dalam salah satu surat, "sinar sultan yang memiliki Pagarruyunng melebihi sinar matahari dan rembulan." Inderma Syah dari Suruaso berkata kepada Belanda, "Saya Sultan di atas bumi dan laut, mempunyai kekuasaan dan kekuatan dari Tuhan. Saya dapat membuat perang dan damai dan saya dapat melaksanakan kemakmuran terus menerus. Saya Sultan terkuat di dunia. Saya adalah tahkta dari segala raja dan mahkota seluruh dunia."
Belanda dan pemerhati Eropa mengejek kemegahan retorika bahasa surat raja Minangkabau tersebut. Mereka lupa memahami bahwa bahasa raja mengantarkan berkah kepada rakyat dan menyertakan rakyat dalam lingkaran persetujuan kekuasaan Minangkabau.

Tahun 1803 tiga orang haji pulang dari tanah suci. Mereka melihat keberhasilan gerakan Wahabi di Tanah Suci dan menggiatkan penyatuan ajaran Islam di Minangkabau yang disesuaikan dengan budaya setempat (Adat bersendi Syara dan Syara bersendi Kitabullah).Hal ini merupakan awal perubahan bentuk sosial Minangkabau dan wawasan agama mereka (Taufik Abdullah, 2002: 114).

Saat itu di Minangkabau, Tuanku Nan Tuo dan muridnya telah mulai menggerakkan reformasi lunak. Ketiga haji yang baru pulang tersebut menghendaki reformasi yang lebih radikal yang segera menyebar ke pelosok Minangkabau. Gerakan mereka yang dikenal sebagai gerakan Padri (ditandai dengan busana putih dan mengutuk pamer kemewahan) tidak hanya menentang para tuanku tua tapi juga mengancam kerajaan. Dalam suatu pertemuan yang damai tiba tiba pecah pertempuran. Sultan Alam Muning Syah selamat tetapi beberapa keluarga raja terbunuh. Kekeramatan keluarga kerajaan menuju kepunahan sejak Belanda campur tangan (1821). Belanda mengambil alih Padang dari Inggris dan mencampuri urusan Minangkabau dan menobatkan raja baru, Sultan Alam Bagagar Syah. Pada tahun 1832 terjadi perang singkat. Setelah Bonjol - benteng terakhir kaum Padri jatuh, Belanda mencurigai sekutu lamanya : sultan kepala adat dan tuanku, bersekongkol dengan pemimpin Padri untuk mengusir Belanda. Sultan diasingkan ke Jawa dan lainnya dihukum mati. Kerajaan Minangkabau berakhir.

Pada Januari 1833 seluruh Minangkabau melawan Belanda. Tuanku Imam Bonjol yang tidak lagi memimpin Bonjol kini menjadi pemimpin keagamaan dan perjuangan kemerdekaan. Perjuangan gigih berlangsung lebih dari empat tahun. Belanda membangun benteng de Kock di Bukittinggi dan benteng der Capellen di Batusangkar dan berhasil mengambil alih benteng Bonjol. Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan diasingkan ke Jawa Barat kemudian ke Ambon dan terakhir ke Minahasa dan wafat di sana. Dengan kejatuhan Bonjol pada tahun 1837, Minangkabau menjadi bagian dari Hindia Belanda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan