Puputan

Puputan artinya akhir atau selesai, perlambang unjuk keberanian dan kesetiaan yang melekat dalam martabat raja Bali. Beberapa raja Bali tak sudi menyerah pada Belanda dan mereka memilih melakukan puputan. Secara ironis puputan juga menjadi penanda babak akhir penguasaan Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda. Di sisi lain pemerintah Hindia secara tidak langsung membentuk suatu kesatuan wilayah yang dinamakan Indonesia.
Setelah Aceh dikalahkan, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 Belanda nyaris menguasai Hindia Belanda. Yang tersisa adakah beberapa kerajaan di Bali. Beberapa kerajaan di Bali dan Lombok tidak bisa ditaklukkan begitu saja tanpa perlawanan hingga titik darah yang penghabisan yang dikenal dengan puputan.
1. Puputan Mataram (1894).
Pemberontakan Sasak yang dipimpin ulama dari tarekat Naqshabandiyah memberi alasan yang diperlukan Belanda untuk campur tangan. Menyusul perampokan istana Cakranegara, penguasa Lombok -Agung Gede Ngurah Karangasem- mengungsi ke desa Sasari. Dia dibujuk menyerah dengan anak cucunya. Raja dibuang ke Batavia dan meninggal 20 Mei 1895. Meski raja menyerah, banyak keluarga di bawah pimpinan kemenakan raja, Anak Agung Nengah, menolak menyerah dan memilih berperang sampai mati menghadapi senjata musuh. Kebanyakan dari mereka terbunuh, dan yang melarikan diri, termasuk Nengah, tertangkap.
2. Puputan Badung (1906).
Pada tanggal 27 Mei 1905 kapal Sri Komala yang mengibarkan bendera Belanda terdampar di Pantai Sanur, Badung. Orang Cina pemiliknya mengaku orang Bali mencuri muatan dan melanggar Klausul 11 perjanjian tahun 1849 dan pemerintah meminta ganti rugi 75.000 gulden. Ketika penguasa Badung, Gede Ngurah Denpasar menolak membayar, Belanda mengepung pantai dan meminta ganti rugi lebih banyak. Blokade Belanda tidak tepat guna karena pasokan ke Badung melalui Tabanan. Perundingan berbulan-bulan tidak mencapai kata sepakat, akhirnya pasukan Belanda mendarat di Sanur tanggal 14 September 1906. Tanggal 20 September pagi mereka sampai Denpasar dan menuju istana Gede Ngurah Denpasar. Setelah menyalakan api di istana, raja di depan 300 pengikutnya keluar istana dan berhenti beberapa ratus meter dari tentara Belanda. Para wanita melepas rambutnya dan memakai jubah putih dan semua membawa keris. Perintah menembak pun diberikan. Raja di antara mereka yang tewas.
Pada sore di hari yang sama Belanda menuju ke puri tempat pembantu raja Badung, Gusti Gede Ngurah Pamecutan. Kejadian yang sama berulang. Lelaki, perempuan, dan anak-anak berjalan menghadapi tembakan Belanda. Jumlahnya mencapai 400 orang atau lebih.
Kemudian Belanda menuju Tabanan. Gusti Ngurah Agung menyerah. Ia dan putranya bunuh diri tanggal 29 September pada malam sebelum ia dibuang ke Lombok.
3. Puputan Klungkung (1908).
Pada tanggal 14 Oktober 1906 Dewa Agung menandatangani perjanjian dengan Belanda. Pada tahun 1908 kerugian monopoli candu di Bali menimbulkan kerusuhan di Klungkung. Belanda mengumumkan kekacauan merupakan pelanggaran kontrak tahun 1906 dan mengirim pasukan.
Pada perang Gelgel 16 April 1908 seorang pedagang candu dari Jawa terbunuh dan dagangannya dihancurkan. Sekitar 100 orang Bali terbunuh dan seorang pejabat Belanda tewas. Cokorda dari Gelgel melarikan diri ke Klungkung untuk mengungsi bersama Dewa Agung. Belanda menuju istana dan memaksa Cokorda menyerah dan ditolak. Dewa Agung dan para pengikutnya berjalan menuju barisan pasukan Belanda dan tewas. Istana kerajaan dihancurkan. Reruntuhannya dihancurkan sesudah itu. Klungkung berakhir. Bali akhirnya menjadi kekaisaran penjajah Belanda (Creese, 2002:140-141).
---
Pada dokumen yang dikoleksi Arsip Nasional Jakarta, seorang saksi mata, H.M. van Weede melaporkan, "Setelah tembakan senjata berhenti, raja pergi ke sana dengan pengikut - wanita dan anak-anak - kira-kira 100 orang... mereka saling menikam dengan keris. Kami melihat mereka dalam satu timbunan, raja terkubur di bawah tubuh pengikut setianya...dan wanita tercantik yang pernah kami lihat di Bali terbaring tanpa nyawa ... Tandu emas dan barang-barang berharga lain terletak di sana di tengah-tengah mayat..."
Yesterday at 7:14 AMPrivacy: Pu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan