Max Havelaar


Penderitaan rakyat karena Tanam Paksa menginspirasi lahirnya novel Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker yang ditulis tahun 1860. Eduard Douwes Dekker (1820-1887) menggunakan nama samaran Multatuli. Judul lengkap novel karya E.D. Dekker adalah "Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandse Handelsmaatschappij"(Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda). Jakob Sumardjo menggolongkan karya Dekker sebagai roman. Sementara Subagio Sastrowardojo menamakan karya ini roman berstruktur cerita berbingkai. Jenis pola ini sudah tua usianya. Jakob Sumardjo menduga bahwa teknik bercerita berbingkai dalam roman ini mungkin dikenal Dekker semasa bertugas di Indonesia (ENI Vol. 10, 2004:209).
Ada tiga cerita pokok dalam roman Max Havelaar yang tidak saling berhubungan yaitu cerita pedagang Droogstoopel dan pembawa naskah Sjaalman, cerita kehidupan Max Havelaar dan cerita Saijah Adinda yang ditutup oleh kata-kata Multatuli.
Sedikit banyak roman ini bersifat autobiografi. Inti cerita roman ini adalah kisah Max Havelaar yang datang ke Lebak sebagai asisten residen mencurigai Adipati Karta Natanegara sebagai penindas rakyat dan pembunuh pejabat yang digantikannya. Ancaman-ancaman yang datang bagai musibah terhadap diri dan keluarganya semakin memperkuat kecurigaannya terhadap karakter buruk pejabat pribumi yang memeras rakyatnya sendiri. Max Havelaar dipecat ketika mencoba melaporkan kecurigaan ini kepada atasannya. Roman ini lahir karena sakit hati dan dendam penulisnya akibat perlakuan para pejabat tinggi Hindia Belanda yang dianggap tidak adil terhadap dirinya. Laporan dan usulnya untuk membebaskan rakyat petani dari penindasan tidak semena-mena para pejabat pribumi kurang ditanggapi.
Roman Max Havelaar telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia dan melambungkan penulisnya sebagai pengarang terhormat dari negri Belanda. Bagian-bagian roman ini, terutama bagian cerita Saijah Adinda dan Pidato Lebak sangat populer di lingkungan masyarakat Indonesia. Roman inipun pernah difilmkan oleh sebuah perusahaan film Belanda dan sempat diputar di Indonesia sekitar tahun 80-90 an. Kisah Saijah Adinda telah ada sebelumnya dalam karya sastra Belanda di Indonesia.
Kepopuleran roman ini di lingkungan kaum pergerakan disebabkan karena isi dan semangatnya membela rakyat kecil di zaman penjajahan Belanda.
Roman Max Havelaar pada tahun 80-an diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Pustaka Jaya - kalau saya tidak salah. Jika kita sempat membacanya kita akan merasakan kepedihan dalam alur ceritanya. Multatuli begitu tajam mengkritisi perilaku pejabat pribumi dan menunjukkan simpatinya kepada rakyat yang tertindas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan