Kapitan Besar Pattimura

Rakyat Ambon merasa senang dengan dua masa pemerintahan Inggris (1796-1803 dan 1810-1817) dan telah kehilangan kekaguman mereka terhadap kekuatan Belanda. Ketika Belanda kembali berkuasa pada tahun 1817 mereka nampaknya tidak mau menyokong gereja Protestan seperti kehendak mereka. Inilah yang menurut Ricklef dari Pusat Kajian Asia Pasifik ANU(2005), menjadi penyebab utama meletusnya tindak kekerasan. Seorang prajurit Ambon bernama Thomas Matulesi atau Pattimura memimpin pemberontakan di Saparua. Ia berhasil merebut benteng Belanda di sana dan berhasil memukul mundur pasukan kolonial yang dikirim untuk melawannya. Residen Belanda di Saparua berikut keluarganya dibunuh. Belanda mengirim bala bantuan dari Batavia. Kaum pemberontak dapat dikalahkan. Pattimura dihukum gantung di Ambon.
Berakhirnya monopoli atas cengkeh di akhir abad ke-19 menciptakan krisis ekonomi di Ambon. Orang orang terpelajar Ambon ( lebih banyak yang Kristen daripada Islam) memilih bekerja pada pemerintah kolonial dengan menjadi birokrat atau tentara. Hal mana menimbulkan kecurigaan dari kaum nasionalis di abad ke-20.
Sementara itu Papua merupakan daerah terakhir yang masuk dalam yurisdiksi Belanda. Pada tahun 1828 benteng Du Bus didirikan di Lobo untuk mencegah kekuatan lain bercokol di sana. Orang Belanda saat itu menarik kesimpulan tidak ada yang menarik di pulau itu. Benteng Du Bus terletak di daerah malaria dan meminta banyak korban jiwa dan uang. Du Bus pun ditinggalkan tahun 1836. Papua baru berada di bawah pendudukan Belanda secara permanen setelah tahun 1898, terutama pada kurun waktu 1919-1928.
Kepulauan Aru dan Tanimbar di sebelah barat Papua tidak begitu menarik bagi Belanda. Hanya Aru yang memiliki nilai ekonomi lebih besar sebagai penghasil mutiara dan kerang mutiara serta burung cendrawasih. Setelah VOC mundur dari Banda dan Aru pada tahun 1620-an, perdagangan diambil alih orang-orang Bugis dan Makasar. Baru setelah tahun 1882 Aru dan Tanimbar berada di bawah pemerintahan Belanda secara tetap.
Pattimura.
Versi lain tentang pemberontakan Pattimura berasal dari tulisan Pattikayhattu, Kartodirdjo, Marwati, Nugroho dan Sapiji.
Pattimura (1783-1817) nama aslinya Thomas Matulessy. Ia memimpin gerakan melawan Belanda di Ambon tahun 1817. Ia lahir tahun 1783 di Haria. Ayahnya Frans Matulessy dan ibunya Fransina Silahoy. Pattimura tidak menikah dan tidak memiliki keturunan. Berkat fisiknya yang baik ia menjadi tentara Inggris hingga berpangkat sersan mayor.
Berbeda dengan kebijakan sosial ekonomi Inggris yang liberal, Belanda memerapkan peraturan yang memberatkan rakyat. Saat itu muncul desas desus orang Maluku dipaksa menjadi serdadu dan dikirim ke Batavia untuk melawan orang yang menentang Belanda. Hal ini yang mendorong timbulnya perlawanan rakyat.
Dalam rapat umum di Baileu, Haria, 7 Mei 1817 Pattimura dipilih sebagai panglima dan dikukuhkan sebagai Kapitan Besar. Sejak saat itu Thomas Matulessy memakai nama Pattimura, mewarisi gelar moyangnya.
Pattimura yang telah bergelar panglima besar pada 16 Mei 1817 pagi hari berangkat ke Saparua untuk mengadakan serangan kilat ke benteng Duurstede. Residen Van den Berg melambaikan sapu tangan putih tanda menyerah. Akan tetapi salah seorang pasukan Pattimura menyambutnya dengan tembakan senapan. Pada hari itu juga benteng Duurstede jatuh ke tangan rakyat Maluku.
Pada 17 Mei 1817 Belanda segera mengirim 500 pasukan yang dipimpin Mayor Beetjes. Saat tiba di pelabuhan Saparua mereka disambut tembakan tembakan dan Beetjes tertembak. Perlawanan semakin berkobar dan meluas ke pulau pulau lain seperti Seram, Ambon dan Hitu.
Belanda meminta bantuan dari kerajaan Ternate dan Tidore dan mendapat bantuan 18 kora-kora dan 1500 prajurit. Belanda juga meminta bantuan prajurit dari Jawa. Belanda membuat sayembara dan menghargai kepala Pattimura 500 gulden tapi tidak mendapat tanggapan rakyat.
Pasukan Belanda dengan persenjataan yang lengkap dipimpin Mayor C.F. Meyer akhirnya berhasil mendesak Pattimura. Pattimura tertangkap bersama Anthony Ribok, Philip Latumahina dan Said Perintah pada tanggal 13 November 1817. Pada 16 Desember 1817 pagi Pattimura dan kawan kawannya menjalani hukuman gantung. Jenazah Pattimura dimasukkan dalam kerangkeng besi dan dipertontonkan kepada rakyat. Namun perlawanan terus berlangsung (Purwoko dalam ENI Vol. 12 , 2004: 257).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan