Perang Batak

Organisasi sosial tujuh sub suku Batak bercirikan marga patrilineal eksogami yang dibagi menjadi satuan desa mandiri. Desa ini kecil di Toba, besar di Karo, sedangkan di Angkola dan Mandailing penduduknya hanya 400 orang pada pertengahan abad ke-19. Setiap desa dipimpin seorang raja atau kepala suku yang diwariskan melalui garis keturunan ayah. Mereka tidak mempercayai semua orang asing yang ke desa. Hubungan sulit antardesa dan antarkawasan dinyatakan dalam intrik tanpa akhir dan perang antardesa yang diritualkan (Niessen, Department of Ecology, University of Alberta).

Di bawah penjajah perdagangan dan perkebunan berkembang. Orang Melayu semakin kuat menguasai perdagangan dan perkebunan, memaksa orang Karo keluar dari wilayah pantai ke pegunungan. Pada tahun 1872 perlawanan orang Karo dipadamkan Belanda yang memihak orang Melayu. Namun mereka tak pernah berhenti melawan.

Pada abad ke-19 Belanda membantu orang Batak selatan melawan serangan Kaum Padri dari Minangkabau. Sejak itu Belanda tidak pernah meninggalkan tanah Batak. Kaum Padri telah membantu penyebaran agama Islam di kalangan rakyat Batak dan dari tahun 1850 pihak Belanda membantu Kristenisasi dan mulai menindas kanibalisme. Pada tahun 1872 berkobar apa yang terkenal sebagai Perang Batak yang berakhir dengan kemenangan pihak Belanda dan sekutu-sekutu lokal mereka. Tetapi perlawanan Batak baru dapat ditumpas pada tahun 1895 (Ricklefs).

Orang Batak Toba mengumumkan perubahan agama ke Kristen dengan memotong rambut dan melepas tutup kepala. Para penginjil dengan Misi Renish di bawah pimpinan I.L. Nommensen mencatat keberhasilan. Pada tahun 1863 Misi Renish mengubah kegiatan ke pedalaman, Lembah Silindung, yang kemudian menjadi pusat Kristen, kekuasaan penjajah dan pusat perdagangan Batak. Perubahan agama orang Batak Toba membentuk kubu melawan kekuatan Islam-Melayu di setiap sisi.
Birokrasi penjajah menekankan pengembangan jatidiri kawasan Batak, menciptakan kemantapan organisasi politik sosial dan ekonomi di atas desa untuk pertama kalinya. Ada perlawanan luas terhadap Belanda dan Sisingamangaraja XII dari Bangkara- seorang raja yang diperdewakan -menghimpun perlawanan bersenjata. Pasukan Belanda mengejarnya tanpa ampun dan menembaknya pada tahun 1907. Dengan demikian berakhirlah perlawanan terhadap rezim Belanda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan