Persebaran Orang Bugis Mandar Makasar
Di Barat daya Sulawesi ada tiga suku serumpun dan memiliki aksara sama : Bugis-Makasar-M andar. Mereka datang dari berbagai leluhur ghaib masing-masing.
Setelah Makasar hancur pada tahun 1669, Bone menjadi kerajaan penting. Orang-orang Bugis menyebar. Orang-orang Bugis terutama laki-laki Wajo bersekutu dengan orang Makasar Gowa dalam perang. Mereka menjadi prajurit tangguh di Nusantara. Di Jawa tercatat nama Aru Palakka dan Karaeng (Pangeran) Galesong yang bermusuhan satu sama lain. Setelah Aru Palakka meninggal banyak orang Bugis bertempur dengan Jonker sebagai tentara bayaran Belanda bahkan masuk ke dalam kemiliteran Belanda di Mataram.
Menurut Reid, periode kekuasaan kerajaan lemah memungkinkan cendikiawan dan lembaga majemuk melakukan percobaan mencapai demokrasi. Orang Bugis Wajo mengembangkan ideologi yang menuntut setiap pemimpin baru mengakui kebebasan yang dinamakan "am-marradeka-n gena", kebebasan mengutarakan pendapat dan bergerak baik di dalam maupun di luar kerajaan.
Meski Makasar jatuh tetapi perahu padekawang mereka selalu dapat menghindar dari kepungan Belanda. Selain perdagangan rempah orang Makasar-Bugis berkembang menjadi pedagang utama antar pulau di timur Asia Tenggara, baik melalui jalur resmi dengan izin Belanda maupun tidak resmi. Sekelompok orang Bugis dari Mandar berniaga sampai Kamboja. Amanna Gappa matoa (pemimpin) mereka menulis kembali hukum laut Malaka dalam bentuk lambang kelautan Bugis secara teliti.
Orang Makasar berdagang teripang di pantai utara Australia. Beberapa kata yang digunakan Aborigine di Nothern Territory seperti kata dengan arti pertalian saudara, kegiatan kelautan, mata dagangan, seni, ragam hias, bagian tubuh, taru serta satwa berasal dari kata Bugis atau Melayu
(Leirissa, 2002:91).
Jalur perdagangan Bugis Makasar tersebar dari Banda hingga Aceh dari Filipina hingga Australia dari Sulu hingga Bali dari Makasar hingga Pahang dan Kamboja. Pemukiman mereka tersebar di Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Tapal Kuda Jawa Timur, Riau Kepulauan hingga Selangor di Semenanjung Malaya.
Orang Bugis tiba di Selat Malaka pertengahan abad ke-17. Daeng Mangika menawarkan bantuan pada raja pelarian bernama Ibrahim dan sejak itu mereka memasuki politik di semenanjung Malaya. Daeng Parani bahkan menggantikan Yang Dipertuan Muda Sultan Abdul Jalil di kerajaan Riau Johor tahun 1722.
Mereka bergantian menjadi raja di sana hingga abad ke-18 bahkan hingga menguasai kerajaan timah di Perak, Kedah dan Selangor. Sejak tahun 1784 kekuasaan Bugis di semenanjung menurun namun tetap berlanjut di Selangor hingga saat ini.
Pada akhir abad ke-18 Bugis dan Melayu harus menerima kehadiran Belanda di Riau dan diikuti dengan penataan kembali kerajaan. Kerajaan Sultan Melayu berpusat di Pulau Lingga ke selatan dan pusat kekuasaan Bugis di Pulau Penyengat di sebrang perairan markas Belanda di Tanjung Pinang. Dua kutub pengaruh ini menghasilkan perdamaian dan kemakmuran beberapa saat. Perdagangan bergeser dari Riau ke Singapura. Setelah kerajaan Melayu Riau Lingga dihapus Belanda, banyak dari keluarga kerajaan dan bangsawan pindah ke Singapura. Mereka menjadi pedagang maupun orang biasa.
Setelah Makasar hancur pada tahun 1669, Bone menjadi kerajaan penting. Orang-orang Bugis menyebar. Orang-orang Bugis terutama laki-laki Wajo bersekutu dengan orang Makasar Gowa dalam perang. Mereka menjadi prajurit tangguh di Nusantara. Di Jawa tercatat nama Aru Palakka dan Karaeng (Pangeran) Galesong yang bermusuhan satu sama lain. Setelah Aru Palakka meninggal banyak orang Bugis bertempur dengan Jonker sebagai tentara bayaran Belanda bahkan masuk ke dalam kemiliteran Belanda di Mataram.
Menurut Reid, periode kekuasaan kerajaan lemah memungkinkan cendikiawan dan lembaga majemuk melakukan percobaan mencapai demokrasi. Orang Bugis Wajo mengembangkan ideologi yang menuntut setiap pemimpin baru mengakui kebebasan yang dinamakan "am-marradeka-n
Meski Makasar jatuh tetapi perahu padekawang mereka selalu dapat menghindar dari kepungan Belanda. Selain perdagangan rempah orang Makasar-Bugis berkembang menjadi pedagang utama antar pulau di timur Asia Tenggara, baik melalui jalur resmi dengan izin Belanda maupun tidak resmi. Sekelompok orang Bugis dari Mandar berniaga sampai Kamboja. Amanna Gappa matoa (pemimpin) mereka menulis kembali hukum laut Malaka dalam bentuk lambang kelautan Bugis secara teliti.
Orang Makasar berdagang teripang di pantai utara Australia. Beberapa kata yang digunakan Aborigine di Nothern Territory seperti kata dengan arti pertalian saudara, kegiatan kelautan, mata dagangan, seni, ragam hias, bagian tubuh, taru serta satwa berasal dari kata Bugis atau Melayu
(Leirissa, 2002:91).
Jalur perdagangan Bugis Makasar tersebar dari Banda hingga Aceh dari Filipina hingga Australia dari Sulu hingga Bali dari Makasar hingga Pahang dan Kamboja. Pemukiman mereka tersebar di Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Tapal Kuda Jawa Timur, Riau Kepulauan hingga Selangor di Semenanjung Malaya.
Orang Bugis tiba di Selat Malaka pertengahan abad ke-17. Daeng Mangika menawarkan bantuan pada raja pelarian bernama Ibrahim dan sejak itu mereka memasuki politik di semenanjung Malaya. Daeng Parani bahkan menggantikan Yang Dipertuan Muda Sultan Abdul Jalil di kerajaan Riau Johor tahun 1722.
Mereka bergantian menjadi raja di sana hingga abad ke-18 bahkan hingga menguasai kerajaan timah di Perak, Kedah dan Selangor. Sejak tahun 1784 kekuasaan Bugis di semenanjung menurun namun tetap berlanjut di Selangor hingga saat ini.
Pada akhir abad ke-18 Bugis dan Melayu harus menerima kehadiran Belanda di Riau dan diikuti dengan penataan kembali kerajaan. Kerajaan Sultan Melayu berpusat di Pulau Lingga ke selatan dan pusat kekuasaan Bugis di Pulau Penyengat di sebrang perairan markas Belanda di Tanjung Pinang. Dua kutub pengaruh ini menghasilkan perdamaian dan kemakmuran beberapa saat. Perdagangan bergeser dari Riau ke Singapura. Setelah kerajaan Melayu Riau Lingga dihapus Belanda, banyak dari keluarga kerajaan dan bangsawan pindah ke Singapura. Mereka menjadi pedagang maupun orang biasa.
Pulau Penyengat dikembangkan menjadi pusat keramahan bagi Yang Dipertuan Muda dan para saudara. Perjalanan haji ke Mekah pertama dilakukan tahun 1828 oleh Raja Haji Ahmad dan putranya Raja Ali Haji sebagai isyarat perhatian pada Islam, ukhuwah Islamiyah dan peneguhan ajaran mahaguru khususnya Al Ghazali ahli theologia Persia abad ke-12. Ulama Timur Tengah yang berkunjung ke Singapura diundang untuk memberi nasihat dan mengajar ke Penyengat. Penyengat juga mengumpulkan buku naskah dan menggubah teks mereka sendiri
(Hooker, 2002:98).
(Hooker, 2002:98).
Komentar
Posting Komentar